Ini diari yg ditulis seorang bunda dari bayi penderita anencephaly: Ancillo Dominic....
note: kisah ini telah dipersingkat karena keterbatasan ruang
17 Minggu.
Dokter riang sekali pagi itu, menyalami kami lalu bernyanyi-nyanyi menuju alat USG. Kemudian mulai USG dengan serius dan menerangkan bagian-bagian tubuh baby di monitor. Kali ini dokter periksa lama sekali dan sesaat dokter terdiam. Akhirnya dengan suara berat dokter berkata, “lni keliatannya…… ada yang nggak bagus, Yenny….. Ini kepalanya, … ada kelainan. Tidak ada batok kepalanya.… Saya anjurkan untuk biarkan dia hidup, Yenny. Ini sudah pasti cacat.”
“Kok bisa?” tanya saya. Kata-kata dokter bagaikan petir di siang bolong.
“Bayi lu nggak ada tempurung dan otaknya. Istilahnya Anencephaly atau anencephalus. Lu ada minum asam folat nggak?”
“Ada, malah dari setahun sebelum hamil.”
“Sampai sekarang, memang diduga karena kekurangan asam folat, tapi kalo lu udah minum, berarti yang lain. Dia cacat, mungkin meninggal di dalam, kita nggak tahu kapan, baru kita keluarin dia. Bisa juga hidup sampai waktunya dilahirkan, kita lahirkan dia.”
Air mata saya langsung berderai. Jc terpaku. Mukanya langsung pucat.
Dokter masih di depan monitor, dia menunjukkan kepala baby hanya sampai batas alis. Tubuh lainnya sempurna, baby sudah punya tangan kaki yang lengkap, tidak berhenti meninju dan menendang, semua jari sudah lengkap, jenis kelamin laki-laki, sum-sum tulang belakang berjejer rapi, tapi sampai pangkal leher, tempurung kepalanya hanya separuh, separuh diatas tidak ada. Kepalanya terbuka. Penyebabnya bukan virus atau genetik, tapi karena satu sel tidak menutup, kebetulan sel otak, sehingga otaknya terbuka. Kejadiannya saat hamil tiga-empat minggu. Sekitar satu minggu setelah pembuahan. Sebelum diketahui hamil.
Dokter menerangkan satu persatu kepada kami. Tidak adanya otak tidak memungkinkan baby untuk hidup karena otak adalah koordinator dari jantung, paru-paru. Mungkin hidup.., tapi paling lama sehari. Biasanya langsung meninggal saat lahir. Baby juga akan terlambat lahir karena kepalanya tidak ada tempurung untuk menekan jalan lahir dan baby tidak produksi hormon di otaknya untuk perintahkan kontraksi ke ibu.
“Roh itu kekal,” kata dokter menguatkan kami. ”Biarkan dia hidup,” pintanya, “ini Tuhan punya mau. Badan kita akan mati, tapi roh tidak pernah mati, dia hidup selamanya.”
Saya menggeleng-gelengkan kepala, saya tidak percaya baby cacat. Saya menangis terus.
“Kita pelihara dia sampai Tuhan sendiri panggil dia,” lanjut dokter. “Kita nggak berhak membunuh dia, secacat apapun dia, kita pelihara dia. Toh dia tidak menyakiti ibunya, dia tidak minta biaya, dia tidak susahin ibunya, dia juga nggak akan hidup lama. Dia hanya minta dilahirkan….Tabah ya, Yenny, ini Tuhan punya rencana.”
Saya tidak bisa menjawab hanya menatap dokter kosong. Jc di sisi saya langsung merangkul bahu saya. Wajahnya penuh air mata.
“Jadi..,” suaranya parau, “jangan bunuh dia, Yenny… biarkan dia hidup, pelihara dia baik-baik.”
Kami berdua masih belum percaya dengan kenyataan pahit ini.
Lama kami semua terdiam. Mengapa semua ini terjadi?
“Saya serahkan pada kalian..,” suara dokter nyaris tak terdengar, matanya menatap kami dalam-dalam, “kalau memang kalian nggak mau dia.., saya nggak bisa apa-apa, ini anak kalian..”
Kami tidak berkata apa-apa, pikiran semakin kosong.
“Saya akan rujukkan ke dokter lain…,” kata dokter dengan suara sangat berat, “yang mau keluarkan dia..”
Dokter terdiam lama, menatap kami berdua dan menunggu jawaban.
”Saya sendiri minta maaf, saya nggak mau lakuin..,” katanya dengan suara tercekat. “Dulu saya pernah keluarkan baby cacat, waktu itu saya belum mengenal Tuhan. Tapi kemudian Tuhan sendiri yang tegur saya, dia marah saya, Ronny, kenapa kamu lakukan ini? Kenapa kamu bunuh dia? Kenapa kamu buat hal yang paling Saya benci? Secacat apapun dia, kamu nggak berhak untuk ambil nyawanya ….”
Dokter mengambil napas dalam-dalam. “Saat saya melakukan aborsi, saya dikejar perasaan bersalah dan nggak akan bisa lupa selamanya, bayangan bayi saat dikeluarkan masih menggelepar-lepar,” dokter memejamkan matanya rapat-rapat seakan hendak membuang jauh-jauh bayangan gelap yang selalu menghantuinya. “Buat apa saya yang aborsi, kalau masih ada orang lain yang mau melakukannya..”
“Jangan diaborsi..,” potong saya. Hanya itu yang dapat saya katakan. Biarpun baby akan cacat, akan mati, tapi jangan dibunuh, saya sangat mencintai dia. Saya sudah bisa merasakan keberadaaannya, tendangannya sudah mulai terasa sesekali. Biarkan dia hidup.
Mata dokter masih berkaca kaca. Dokter menghapus sedikit air mata di ujung matanya agar tidak mengalir turun.
Dokter memberikan tissue kepada saya. “Tabah ya, Yenny,” katanya perlahan. “Ini Tuhan punya rencana. Lu kontrol dua-tiga bulan aja, nggak perlu antri berjam-jam, kapan lu sempat, lu kontrol. Gua cuma resepin tambah darah dan kalsium buat lu punya tulang.”
Lalu dokter salaman dan menepuk-nepuk punggung Jc, “Tabah ya, kita tetap pelihara dia baik-baik. Saya hargai keputusan kalian untuk nggak bunuh dia.”
Saya tidak dapat berkata-kata lagi, air mata tidak bisa berhenti mengalir.
Tuhan, kenapa kasih baby seperti ini? Kau bisa buat jantungnya berdetak sempurna, Kau beri rusuk dan sum-sum yang tersusun rapi, kenapa tidak sekalian Kau beri otak dan tempurungnya?
Lalu dokter menatap Jc dalam-dalam, katanya, “saya appriaciate, kalian mau lanjutin untuk hamil. Roh itu kekal, tidak akan mati. Di surga nanti, dia akan menemui orangtuanya untuk bilang terima kasih sudah pelihara dia dengan baik, sudah merasakan kasih sayang orang tuanya.” Kata-kata pendek tapi begitu menyentuh.
*bersambung*