Menanti persalinan
Saya berdoa untuk baby, menikmati saat-saat terakhir bersamanya, merasakan gerakannya diantara kontraksi yang tidak pernah lagi reda.
Jc membisikkan saya bahwa tetangga sebelah saya, pasangan muda dengan anak pertamanya, akan melakukan aborsi. Babynya berumur 15 minggu, terinfeksi rubella. Jc sempat bertukar cerita dengan suaminya di ruang tunggu. Awalnya mereka pakai Dr Ronny tapi dokter tidak kasih aborsi malah meminta mereka untuk mempertahankan baby ini. Tapi mereka tidak mau baby yang cacat., mungkin saat lahir tidak cacat, tapi kemungkinan cacatnya muncul tiba-tiba di umur 2 – 3 tahun, kasihan kalau anak harus hidup dengan kecacatan, kata suami itu.
Dokter Ronny tidak mau memberi rekomendasi ke dokter mana, sehingga mereka kelimpungan cari dokter sana-sini, yang mau melakukan aborsi.
Baby 15 minggu… hanya beda 2 minggu dari Ancillo sewaktu dokter menvonisnya cacat, di umur 17 minggu. Saat itu semua anggota tubuhnya sudah lengkap, sudah berbentuk manusia yang sempurna, tidak berhenti menendang dan meninju, jungkil balik di perut. Mukanya juga sudah terlihat mata, hidung, telinga bahkan bibirnya sudah bisa tersenyum.
Seharian saya memang sempat mendengar pembicaraan mereka, bahwa istrinya ketepa campak, cacar jerman, dari keponakannya. Setelah sembuh, dua bulan kemudian istrinya hamil. Otomatis virus masih ada di tubuh istrinya dan dari lab cek darah ketahuan terinfeksi rubella.
Istri mulai demam. Sesekali terdengar rintihan kesakitan diantara isak-tangisnya.
Saya hanya bisa berdoa, semoga istri tambah demam sehingga aborsi bisa ditunda atau batal sekalian.
Terdengar istri menangis dan mengeluh perut bawahnya sakit dan mulas sekali. Pasti dia juga tidak ingin kehilangan babynya. Ada satu baby lagi yang berada di sakratulmaut, karena orangtuanya takut cacat.
Perlahan saya menyibak horden pembatas, tiba-tiba saya berkata, “babynya dilahirkan saja. Kalau kamu takut dia cacat, babynya buat saya saja.”
Saya sendiri kaget, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut saya. Saya yang menginginkan baby, malah cacat dan pasti meninggal, mereka yang ada chance baby normal, malah ingin melenyapkannya. Tidak adil.
Suaminya menjawab, “kita juga berdua sayang anak-anak, tapi kasihan kalau dia cacat, lebih baik dari kecil kita aborsi. Kita nggak nyangka dia kena rubella. Dokter bilang dia 75% cacat.”
“Teman kantor saya ada beberapa yang rubella juga tapi babynya nggak masalah, normal-normal aja, malah sekarang sudah TK,” jawab saya, jantung saya berdetak sangat kencang.
“Iya, kalau normal.. kalau cacat, kita kan nggak tahu?” kata suami.
“Makanya saya bilang, buat saya saja, biarkan dia lahir. Baby saya juga cacat, dia nggak akan hidup, kalau boleh.. , baby itu boleh untuk saya?”
Andaikan boleh, terpikir oleh saya, dia akan jadi baby yang membawa luka batin sejak dalam kandungan, tapi luka bisa sembuh kalau ada yang menyayanginya.
Suami itu hanya nyengir. “Kita senasib dong. Putusan kita sudah bulat kok.”
Senasib? pikir saya dalam hati, sambil membalikkan badan. Senasib hanya karena bayi-bayi ini akan meninggal segera.
Tiba-tiba kesedihan yang mendalam menghampiri saya. Begitu mudah manusia membunuh babynya, padahal masih ada chance untuk normal.
Saya menangis diam-diam. Perih sekali rasanya. Jangan dibuang.., jangan dibunuh.. Namun, seberapa kuat saya berteriak dalam hati, mulut ini terkunci rapat. Siapa berani bersuara di saat begini?
Air mata saya mengalir terus. Tuhan, dimana Engkau? Bukankan Engkau ada dimana kehendakMu terlaksana? Apakah ini juga kehendakMu?
Sesosok bayi mungil akan dipaksa lahir, kemana dia dapat berlari, kemana dia dapat bersembunyi, kemana dia dapat meminta tolong? Siapakah yang akan mendengar dia menjerit kesakitan? Siapa yang peduli? Salahkah aku bila terlahir cacat?
Persalinan
Dokter memegang baby dengan kedua tangannya, mengangkatnya lebih tinggi sehingga saya bisa melihatnya.
Baby tidak menangis, dia terkulai diam.
“Meninggal ya, Dok?” tanya saya pasrah.
“Ya…,” jawab dokter pelan. “Baru aja meninggal.., masih merah, sesaat mau lahir, dia pergi...”
Dokter membetulkan posisi baby yang masih menekuk, satu tangan memegang kepala baby dengan hati-hati, satu tangan lagi menahan pantat baby, terlihat wujud baby yang mungil, matanya setengah menutup seperti sedang tertidur nyenyak, begitu damai…
“Yenny..,” kata dokter, “sekarang lu punya satu tabungan di surga…., dia menunggu lu di surga.” Saya diam saja. Mati rasa. Kosong. Ancillo sudah pergi ya.., tiba-tiba dia sudah pergi.
Ancillo sudah pergi, begitu tenang, bahkan dia tidak menyapa kami orang tuanya. Dia juga tidak meninggalkan kenangan akan tangisan pertamanya.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya dia bisa bertahan hidup beberapa hari, dimana dia akan diletakkan, di kamar bersalin, di ruang bayi, di inkubator, di box baby, di sisi saya... bagaimana saya bisa kuat menghadapi detik demi detik, berjaga-jaga sambil memperhatikan napasnya satu-persatu, menemaninya terus di sisi saya, memandanginya sampai ajal menjemputnya.
Dia benar-benar anak yang baik, tidak menyusahkan saya sama sekali. Benar-benar malaikat kecil saya dari Tuhan. Begitu istimewa. Begitu sempurna di mata saya. Satu jam lalu dia masih bersama saya, tadi siang juga dia tiba-tiba mutar. Anak yang hebat…
Saya kesepian sekali. Kembali menangis membayangkan Ancillo. Tadi suster begitu cepat membawanya pergi. Apakah memang begitu, supaya ibunya tidak terbayang-bayang akan babynya.
Saya belum sempat memeluknya, belum mencium pipinya, belum mendekapnya, rindu ini tidak tertahankan. Saya ingin sekali lagi bisa membelainya, mengulanginya.
Tuhan begitu sayang dengan Ancillo yang sejak dari kandungan sudah begitu menderita sehingga begitu lahir, Ia langsung memanggilnya ke dalam pelukanNya untuk menjadikannya malaikat kecil di surga dan untuk menjadi malaikat kecil bagi keluarganya, menjaga ibunya supaya cepat pulih, ayahnya yang menyayanginya, dan keluarganya, walaupun dia langsung dipanggil Tuhan, setidaknya dalam waktu sembilan bulan dia sudah merasakan kehangatan dan kasih sayang ibu dan ayahnya, tetap menerima dan menjaga dia dan tetap mempertahankannya sampai lahir dan tidak mengambil tindakan apapun yang bisa melenyapkannya. Ancillo sekarang sudah di surga, menjadi malaikat dan suatu hari nanti, dia juga yang akan berdiri menyambut ibunya untuk mengucapkan terima kasih atas kasih sayang yang dirasakan sewaktu dalam kandungan.