Senin, 5 Mei 2008 ...
Hari ini Dinda anak kami yang kecil ulang tahun ke 4. Perhatian dan kecintaan istriku pada anaknya tak pernah berkurang. Dibatas ketidak berdayaannya dia menuliskan sesuatu, “Ayah jangan lupa beliin hadiah buat Dinda, ayah beliin jaket nanti bunda titip mukena, kasihan mukena dede sudah jelek. Bilang ke dede ini mukena dari bunda.”
Atas permintaan istriku siang itu sebagai tanda syukur kami memotong 2 buah kue ulang tahun yang salah satunya untuk dibagikan ke suster-suster yang jaga. Kemudian istriku minta dibantu turun dari tempat tidur, katanya ingin duduk bareng deket Dinda. Ia mencoba memberikan senyum bahagia pada Dinda dan menyembunyikan rasa sakitnya. Sementara Dinda nampak bahagia dipangku bundanya, mungkin ia mengira bundanya hanya sakit biasa saja. Lagu “selamat ulang tahun” yang kami nyanyikan terdengar getir di telingaku. Terasa pilu aku menatap mereka.
Selasa, 13 Mei 2008 ...
Biasanya jika istriku menginginkan sesuatu ia akan membangunkan saya dengan mengetuk besi tempat tidurnya. Namun malam itu saya merasa sangat ngantuk dan lelah, saya menulis pesan pada istriku, “bun..nanti kalo perlu apa-apa panggil suster aja ya! Ayah ngatuk dan cape, jangan bangunin ayah ya!” Dengan isyarat lemah ia mengiyakan permintaanku, ia mengusap tanganku kemudian menuliskan sesuatu “ayah tidur aja gapapa kok, bunda juga mau istirahat.”
Rabu, 14 Mei 2008 ...
Entah mengapa pagi ini aku sangat ingin merawatnya. Ketika ia kembali diserang diare berkali-kali yang sangat hebat aku sendiri yang membersihkan semuanya. Kemudian memandikannya dan mengganti pakaiannya. Pagi itu aku minta Lia anak sulung kami yang masih duduk di kelas 5 SD untuk menjaga bundanya, sebelum kemudian aku tinggal berangkat kerja.
Siang pukul 11 Lia menelpon “Ayah, bunda pingsan nafasnya cepet banget.” Aku kaget dan sangat khawatir. Selang 15 menit Lia sms “bunda sekarang ada di ruang ICU”. Astaghfirullah haladziim… apa yang terjadi pada istriku. Segera aku minta izin meninggalkan kantor. Di Rumah Sakit aku dapati Lia menangis sesegukan tak berhenti. “bunda yah… tolongin bunda yahh….!”
Kuhampiri istriku yang tergolek taksadarkan diri. Perawat memasang semua peralatan pada tubuh istriku, entah alat apa saja ini. Kuusap perlahan keningnya, dingin sekali. Tangan dan kakinyapun sangat dingin. Hingga menjelang maghrib aku tak beranjak dari sampingnya. Tak hentinya mulut ini memanjatkan doa. Sementara di luar ruang ICU sudah banyak kerabat berdatangan.
Tekanan darahnya sangat rendah dibawah 70. Dokter memberikan obat penguat tekanan darah dengan dosis tinggi. Tekanan darahnya sempat naik namun masih dikisaran 75-80, sangat rendah. Berkali-kali dokter menyuntikkan obat perangsang namun hasilnya tetap sama tak berubah. Dokter memanggilku, perasaanku gelisah tak menentu, campur aduk antara cemas, bimbang dan ketakutan yang amat sangat. Dugaanku benar Dokterpun menyerah.
Melihat kondisinya yang terus menurun ia menyarankan agar semua alat bantu dilepas saja. “maksudnya dok..?” aku menodong penjelasan. “secara medis kondisi ibu sudah tidak dapat ditolong lagi, lebih baik kita do’akan saja.” Aku benar-benar lemas mendengarnya seluruh badanku gemetar merinding “benarkah tak ada lagi harapan.” Tiba-tiba aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku tak mau menyerah, aku meminta agar semua alat bantu itu tetap terpasang pada tubuh istriku, sambil menunggu keputusan team dokter besok pagi.
“Aku tak mau kehilanganmu bunda.” Ku pegang kuat jemarinya, “buka matamu bunda sebentar saja, ayah ingin menatap mata bening bunda untuk terakhir kalinya,” kubisikan lembut ditelinganya.
Pukul 22, aku disodori surat pernyataan, tak sempat aku baca, kata suster ini adalah Surat persetujuan untuk melepas semua alat bantu dari tubuh istriku. “Tak sanggup aku melakukan ini bun, aku ingin tetap menatap wajahmu, aku ingin tetap mendampingimu meski dalam ketidakberdayaanmu.”
Akhirnya adikku yang menandatanganinya. Aku tak ingin selalu dihinggapi rasa bersalah jika menandatangani surat itu. Kemudian semua alat bantu dilepas dari tubuh istriku, tinggal tersisa alat pendeteksi detak jantung.
“Bun…..inilah yang terbaik yang diberikan Allah buat kita, maafkan ayah bun ayah tak bisa menjaga bunda. Ayah ikhlas bunda pergi, ayah terima semua dengan ihklas bun.. Jangan khawatir bun, ayah akan menjaga dan merawat anak-anak kita,” kubisikan lirih ditelinga istriku.
Kutemui Lia yang menunggu diluar ruang ICU, kubelai rambutnya penuh sayang. Ia menangis keras sejadi-jadinya, mungkin ia paham apa yang kumaksudkan. “Bundaa….. Lia ga mau kehilangan bunda, jangan tinggalin lia bundaa..!!” Tangisnya memekik, merebut perhatian semua orang diruang tunggu ICU ini. Semua mata menatap kami tapi mereka diam seolah mahfum dengan keadaan kami.
Dalam setiap rangkaian doaku tak pernah aku mengucapkan kata-kata menyerah “kalo memang hendak Engkau ambil maka mudahkan,” tak pernah aku menyebut kata-kata itu. Aku selalu minta kesembuhan, kesembuhan karena aku memang menginginkan istriku benar-benar sembuh.
Sepertinya kini aku harus menyerah dan pasrah “Ya.. Robb jika memang Engkau menentukan jalan lain aku ikhlas ya Allah…., mudahkan jalan istriku untuk menghadapmu dengan khusnul khootimah.”
Menurut suster dalam kondisi seperti ini pasien masih bisa mendengar. Kubimbing istriku menyebut kalimat “LAAILAHA ILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH..” perlahan aku membimbingnya. Rasanya aku mengerti betul setiap helaan nafasnya, raga kami bagai menyatu. Kuulang hingga berkali-kali dengan helaan nafas yang terirama pelan. Dua bulir bening tersembul dari sudut matanya. Aku merasakan ia sanggup mengikuti kalimat ini, terimakasih ya Allah..!