copy paste bunda....
Gary Handhika
Ini bukan tulisan saya, ini adalah tulisan seorang
sejawat
SpOG yg bertugas di RSUD dr. Soetomo
(PPK III)
Akhirnya, yang saya takutkan terjadi juga. Saya
‘harus’ bertemu dengan pasien BPJS, yang
ternyata adalah istri dari seorang teman sejawat
dokter umum.
Pasien primigravida, datang jam setengah empat
sore ke UGD dengan keluhan ketuban pecah dan
letak lintang. Pasien tidak pernah ANC di saya.
Setelah dihitung, usia kehamilannya masih sekitar
35 minggu. ANC terakhir adalah sebulan yang lalu
di
SpOG yang lain. Dari anamnesis, ternyata si
pasien punya riwayat gula darah tinggi. Itu saja
yang bisa saya gali (sungguh hal tidak
menyenangkan bagi seorang
SpOG bila
‘kedatangan” pasien yang tidak pernah ANC
kepadanya ok harus meraba2 masalah pada
pasien).
Dan episode berikutnya, adalah episode2 yang
harus membuat saya menangis tak terperikan
dalam hati. Pasien saya rencanakan SC cito.
Pertanyaan yang pedih ketika dokter jaga
menghubungi saya,”dokter mau mengerjakan
pasien BPJS?”. Pedih, karena semua sejawat
SpOG
pasti tahu nominal biaya paket SC. Sekitar 3-4
juta. Itu total Jenderal, sudah termasuk sewa OK,
obat bius, benang benang jahit, perawatan di
ruangan, infus dan obat di ruangan. Lalu berapa
honor yang harus diterima seorang
SpOG?
Tergantung. Yah, tergantung sisa hal2 di atas. Bisa
saja cuma 60 ribu seperti yang pernah dialami
sejawat saya.
Tapi, bukan itu yang membuat saya pedih. Toh,
selama ini, kami para dokter sudah biasa
mendiskon pasien, menggratiskan pasien dll. Yang
membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini soal hati
nurani. Apa mungkin saya menjawab tidak???
Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus
menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan
kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi. Katanya,
masih menunggu proses administrasi BPJS yang
katanya online nya sedang lemot. Dan benar2 hati
saya harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau
menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep?
Sementara urusan administrasi bukan wewenang
kami para dokter.
Setelah dengan sedikit pemaksaan, pasien akhirnya
bisa sampai di kamar operasi. Lagi2 saya harus
pedih. Berdua dengan sejawat anestesi, kami harus
berhemat luar biasa. Saya sibuk berhemat benang,
dan dia sibuk memilihkan obat bius yang murah
meriah. Aduhai, operasi yang sama sekali tidak
indah buat saya….
Selesaikah pedih saya? Ternyata belum. Pasca
operasi, saya dihubungi apotek. “Dok maaf, obat
nyeri nya tidak ditanggung, obat untuk mobilitas
usus juga tidak ditanggung,” hiks….Apakah kami
para dokter ini jadi dipaksa bekerja di bawah
standar oleh pemerintah? Dan, saya pun ikut
merasakan betapa pasien masih merasakan
kesakitan pasca SC. Sungguh, maaf, ini bukan
salah kita, pasien ku sayang….
Bahkan, obat nyeri yang oral pun terpaksa bukan
yang biasa kami berikan. Pedih dan perih hati kami.
Seperti inikah pengobatan gratis yang dijanjikan
oleh Pemerintah? (Tapi sebenarnya tidak gratis
bagi PNS, karyawan, buruh dan orang mampu yang
nanti dipaksa ikut BPJS). Kami harus bekerja
dengan pengobatan ala kadarnya yang membuat
kesedihan luar biasa bagi kami. Kami merindukan
pasien2 tersenyum bahagia. Dan…kepedihan yang
paling2 pedih adalah harus menghadapi kenyataan
bahwa malam ini, pasien BPJS saya adalah istri
seorang sejawat dokter umum yang tercatat
sebagai PNS di sebuah Puskesmas. Bayangkan,
seorang ujung tombak lini depan pelayan kesehatan
yang notabene pekerja Pemerintah, harus
mendapatkan pelayanan BPJS seperti ini.
Dan…menangislah saya, karena kalau BPJS tetap
berjalan seperti ini, bukannya tidak mungkin, saya
dan kita semua akan mengalami hal yang sama
dengan istri sejawat saya ini. Karena kelak, BPJS
ini wajib untuk semua rakyat dan semua RS.
Karena pemerintah pun menjadi tukang paksa bagi
seluruh isi negerinya..,,Rakyat dipaksa ikut BPJS,
karyawan swasta harus ikut BPJS, seluruh RS
wajib melayani BPJS dan dokter pun harus
melayani sesuai standar BPJS yang ala kadarnya…
Maaf, tapi ini bukan salah kita…
———————————
Untuk diketahui anda semua, di Era Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ini, Badan
Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) membayar biaya
berobat / perawatan berdasarkan diagnosis /
prosedur yang dikerjakan melalui tarif Indonesian
Case Based Group (InaCBGs) yang ditentukan oleh
Kementrian Kesehatan. Besaran tarif tersebut
mengkover jasa medis konsultasi / tindakan oleh
dokter, obat-obatan, pemeriksaan lab/radiologi,
perawatan, dsb. Besaran tarif tersebut juga berbeda
sesuai kelas rumah sakit dan daerah, rumah sakit
yang kelasnya lebih besar akan mendapat
kompensasi yang lebih besar, RS kecil akan
mendapat tarif yang lebih kecil.
Tarif InaCBGs ini menurut kementrian kesehatan
dihitung dengan cermat, namun sangat aneh bin
ajaib ternyata untuk kasus sirkumsisi (sunat)
tarifnya jauh lebih besar dibandingkan tindakan SC.
Silahkan lihat pada gambar dibawah.
Jadi apa memang benar diperhitungkan dengan
cermat??
Kesimpulan yang bisa diambil dari tulisan sejawat
saya dan kenyataan yang berkembang saat ini
adalah :
01. Tarif InaCBGs yang rendah mengharuskan
dokter untuk melakukan penghematan disegala
bidang, bahkan dengan mengesampingkan jasa
medis yang didapatnya. Hal ini tentunya berpotensi
menurunkan standar pelayanan dan pada akhirnya
pasien lah yang dirugikan.
02. Tarif InaCBGs tidak diperhitungkan dengan
cermat sebagaimana yang diklaim pemerintah
melalui kementrian kesehatan atau BPJS. Tarif
tersebut dibuat secara sepihak dengan
mengindahkan masukan dokter dan juga asosiasi
Rumah Sakit. Sehingga hasil akhirnya jauh dari
harapan dan menurunkan standar pelayanan
kesehatan, hal ini tentunya merugikan masyarakat.
03. Dokter sebagai pekerja medis tidak bisa
berbuat banyak karena dokter harus taat aturan
karena menjadi bagian sistem SJSN yang masih
harus banyak dibenahi.
04. Kesenjangan tarif InaCBGs yang sangat jauh
berbeda antar kelas RS tidaklah adil. Karena hal
tersebut pelayanan yang sesuai standar bisa jadi
hanya dinikmati oleh masyarakat di perkotaan
dengan rumah sakitnya yang besar. RS kecil
didaerah akan tetap kecil dan sulit berkembang.
05. Rendahnya jasa medis yang akan diterima
dokter akibat kesenjangan tersebut hanya akan
mendorong dokter untuk bekerja di rumah sakit
besar di perkotaan ketimbang bekerja di RS kecil di
daerah.