Punggung

selamat malam bun.. aku lagi gak bisa tidur. lagi flu, hidung mampet, dan air mata ngalir terus gak berenti (mungkin efek demam) dan akhirnya jemariku nyasar di situs ini (lagi).

aku lagi gak mood nulis di blog pribadi (karena gak ada yang bacain). (yup! terkadang kita berbicara memang untuk didengarkan). dan oleh karena itu, aku menuliskannya di sini. siapa tau ada yang iseng baca.
.
PUNGGUNG
.
Ada rintikan hujan dari pelupuk mata
Jatuh ke pelipis
lalu kutepis
dengan jemari
.
kutelusuri setapak waktu
saat ibu jarinya menghapus air mataku.
atau jari-jarinya menyisir rambutku
atau telapak tangannya menyapu perutku.
.
ah, waktu.
.
tak ada raungan bayi dalam kamar ini
tak ada lagi desah dalam gelap malam sunyi
tak jua pembicaraan atau tawa renyah
kami menyerah.
.
ia masih mencintaiku.
tak ada aroma lain di tubuhnya.
tak ada rambut atau bekas lipstik dari bajunya.
tak jua ia melewatkan sarapan dan makan malamnya.
bahkan uangnya, selalu bersisa dan bertumpuk begitu saja.
.
ia menyerah. aku menyerah. kita menyerah.
dalam diam kami sepakat untuk tidak lagi berkata.
kami mengerti benar bahasa keheningan.
kami berkomunikasi dengan denting piring, langkah kaki, dan dengkur kelelapan masing-masing.
.
rumah ini telah mati.
semenjak flek dan disusul darah segar menghiasi lantainya.
dan kenyataan bahwa rahimku tak lagi berguna.
kepada siapa kita harus meminta? tuhan tak lagi memberi. tuhan bukanlah maha pemberi.
.
fungsi ruang ibadah telah diganti dengan gudang.
tak lagi ia berdiri gagah satu shaf di depanku.
.
sudah pagi.
aku membalik badan.
kutatap punggung lelaki tiga jengkal di sebelahku.
tak ada tanda-tanda menarik nafas atau menghembuskan udara.
.
dua puluh enam tahun.
setelah dua puluh enam tahun kita saling membisu, ini pertama kalinya kuraba tubuh rentanya.
denyutnya mati untuk selamanya.
.
isakku menyambut pagi.
aku harus terbiasa berhenti menyiapkan dua piring nasi.
aku harus terbiasa tidur tanpa lelaki yang menemaniku dengan punggungnya.
tiga puluh empat tahun tak pernah kurasakan memar biru dari tangannya. tak pernah.
tak pernah jua ada tanda-tanda 'tamu' dalam rumah tangga kami.
kita hanya berdua. selalu berdua.
selama delapan tahun kami menunggu kehadiran orang ke tiga dalam rumah ini.
ia menantinya dari rahimku.
itu membuatku sakit.
aku pernah berharap ia menceraikan aku dan mendapatkan kebahagiaan dari perempuan lain.
tapi begitulah 'kita'.
bagaimana ia bisa berpaling dari perempuan yang sudah ia kenal sejak ia berumur belasan tahun?
.
sekelebat bayangan lampau kuusir jauh-jauh.
kembali kutatap tubuh yang berumur 58tahun itu.
kuberanikan diriku memeluk punggungnya.
untuk terakhir kalinya.
.
.
.
bpp,2juni2014. rani.