| Selamat datang di IbuHamil.com, sebuah forum seputar kehamilan. Untuk bertanya atau diskusi dengan bumil lain, silakan bergabung dengan komunitas kami. | | | | Bangga menjadi ibu rumah tangga Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah. Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan “nasehat” dari bapak tercintanya: “Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.” Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga. Ibu Sebagai Seorang Pendidik Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya: “Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33) Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya. Sebuah Tanggung Jawab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6) Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu!” di atas menggunakan Fi’il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka. Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya) Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat. Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6) Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya. Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya: “dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214) Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari 2/91) Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya. Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, “Mau untuk apa nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!” Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-? Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya. Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih! Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia. Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka? Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita? Lalu… Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu? Wallahu a’lam "Aku Bangga Menjadi Ibu RT kalo KAMU????
Thread lain yang berhubungan:
IbuHamil.com - komunitas ibu hamil terbesar di Indonesia | | |
iyaa bunda,nice motivation!
| | | | | Location: Surabaya
Posts: 1,127
| |
| | |
salam kenal bun,
saya juga sangat menghargai perempuan yg memilih utk menjadi ibu rt, berat kerjaan di rumah tangga. juga banyak pengorbanannya, termasuk pengorbanan cita2 dan juga harus menghadapi suami yg dominan semena2 karena mereka merasa sudah capek2 kerja menafkahi. butuh kesabaran dan dedikasi yg tinggi, dg cita2 agar anak2nya jd orng yg baiknagamanya, mulia sfatnya dan sukses masa depannya. mau anaknya laki2 atau perempuan. semuanibu saya yakin akan bercita2 sptitu utk anaknya. namun masalah pendidikan anak, belum tentu perempuan yg berpendidikan tinggi (s1 dg nilai cum laude di uni terbaik di indo, kemudian s2 di luar negeri) dan kerja, tidak bisa membagi waktu untuk menjalani perannya sbg istri dan ibu dg baik. sebagai perempuan spt itu saya juga berat jalaninya, dan harus bagi tugas dg suami i rumah tangga, juga dalam didik anak. kita tidak ada pembantudi rumah. namun saya mendapatkan full support dari ibu saya untuk mengurus anak saya nanti. ibu saya perempuan berpendidikan tinggi yg bnyk berkorban diri untuk jadi ibu rt dan mendidik anak di rumah bersama ayah, sehingga komitmen support anak perempuannya utk maju juga dlm pendidikan. perempuan bekerja pun juga membantu suami mencari nafkah dan menabung utk keperluan keluarga spt membeli rumah dan kendaraan. belum umur dan rezeki suami belum selalu pasti. istri harus siaga dan siap menafkahi keluarga bila suami ada apa2, demi anak2nya, agar mendapatkan pendidikan dan peluang terbaik. berat juga jadi perempuan yg berpendidikan tinggi dan kerja tanpa ada pembantu di rumah. pulag kerja lelah masih harus masak, asah2 dll. juga saya sedang hamil, ga bisa seenaknyaistirahat di rumah bila lelah karena kehamilan. belum nanti anak sudah lahir. pastiharus adaptasi lagi untuk membagi waktu dg optimal dan mengutamakan anak. tapi belum tentu itu mustahil. juga suamikuga harus bisa berkontribusi untuk meluagkan waktuuntuk mendidik anak. point saya adalah saya respek dg perempuan yg menjadi ibu rt dan saya juga kagum dan sangat mengerti tulisan bunda, namun janganah menjustify tulisan bunda dg memandang sebelah pihak atau judge pilihan perempuan2 lain yg bekerja dan sekolah setinggi mungkin dan berusaha untuk membantu suami menafkahi keluarga serta berusaha semaximal mungkin untuk menjadi istri dan ibu yg baik. saya jujur sakit hati baca bagian tulisan yg memandang sepihakperrmuan yg berkarier juga. ga semudah itu. berat jalaninya. berat sekali dan terkadang bertanya, kenapa milihhidup stress kerja n ttp usaha keras memenuhi tangungjawab perempuan sbg ibu dan istri. tapi semua orang pasti punya pilihan hidup masing2 dan kta harus hargai. juga pilihanhidup itu tergantung tipe suami apa yg kita nikahi seperti saya kagum dg peran bunda2 yg memilih jadi ibubrt. jujur saya tidak bisa mengambil keputusanitu. ibu saya ibu rt. dg gelar sarjana dari perguruan tinggi kedua terbaik di indo dan masa depan cerah, beliau memilih untuk jadi ibu rt dan nantinya akan spport anak perempuannya meraih pendidikan yg tinggi serta bisa menjalani perannya sbg ibu dan istri yg baik. beliau menggunakan pola pikir yg beliau raih meøalui pendidikannya yg tinggi zaman itu untuk mendidik baik anak2nya, serta untuk bisa membantu mengajarkan anak2nya mata pelajaran2 hingga sma. saya kagum dan respek thdp ibu rt. namun di sisi lain bunda2 yg jadi ibu rt, juga jangan memandang sebelah mata pilihan bunda2 lain yg sekolah tinggi dan bekerja. banyak perjuangan dan motivasi mulia di balik pilihan mereka juga. bukan hanya egoisme emansipasi semata. mohon maaf bila ada perkataan yg tidak berkenan. damai.. bunda. apapun pilihan bunda2, kita saling respek, krn pada intinya semua bunda disini pasti usaha keras untuk memberikan yg terbaik untuk anak serta ingin menjadi ibu dan istri yg baik melalui jalan masing2.
| | | | | Location: Dumai Riau
Posts: 425
| |
aq jg bngga jd IRT bund,, IRT dgn geLar sarjana.. Aq kesampingkan ego utk mngejar karier demi anak & suami q...!! krna mjd IRT ALLAH nti yg akan mnggaji kta dgn phla2 drNya.. Aamiin... Ttap bngga yaa bund mjd IRT..
| | |
@bunda shakila maaf, tapi tidak fair untuk memandang sebelah mata. seperti halnya tidak fair untuk orng2 lain memandang sebelah mata pilihan bunda utk menjadi ibu rt dan tidak bekerja. ga semua bunda2 yg berkerja memilih utk bekerja krn keegoisan mengejar karier semata! saling respek aja pilihan masing2 tanpa harus menjatuhkan pilihan bunda yg lain.
| | | | | Location: cempaka mas,jakarta pusat
Posts: 124
| |
Ssh bcnya...silau
| | |
wah kan ada juga bunda2 yg bekerja utk mencukupi kebutuhan keluarga. logikanya klo memang semua kebutuhan sudah tercukupi, ngapain kerja diluar?
| | | | | Location: Kediri
Posts: 21
| |
waktu masih ada ayah saya, ibu saya adalah ibu rumah tangga dengan gelar sarjana, ketika sudah berpisah dengan ayah(dan beberapa waktu kemudian ayah saya meninggal dunia)ibu saya menjadi seorang single parent yg "terpaksa" bekerja menghidupi 2 orang anaknya, dan saya ingat sekali dulu beliau pernah curhat bahwa sebenarnya kalau beliau mempunyai suami yg bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga, sebenarnya dia lebih suka menjadi ibu rumah tangga yang mengasuh anak2nya di rumah.
Ketika ibu saya menjadi seorang single parent, saya suda cukup dewasa utk mengerti dan menerima takdir yg diberikan Tuhan kepada keluarga saya, saya juga sudah cukup merasakan perhatian penuh dr ibu karena pada saat kecil,ibu saya belum bekerja. tapi lain dengan adik saya yg saat itu masih kecil,terpaksa dia harus dijaga beberapa PRT (karena sering gonta-ganti PRT) yg dipekerjakan ibu saya, walhasil yaaaah..gt deh, walaupun tdk pernah berhubungan dengan narkoba atau sejenisnya, kebandelannya lumayan menguras air mata ibu saya,walaupun akhirnya dengan do'a yg nggak putus2 dr ibu saya,adik saya sudah menjadi pribadi yang baik.
Sekarang menginjak sudah menikah dan hamil 22w, sy bergelar Sarjana dr slh satu institut di kota Bandung,tp sy stay di rumah,karena ya itu..berkaaca dr pengalaman keluarga saya.
ini hanya sharing, bukan menghakimi, rejeki ngga akan kemana, rejeki anak&istri sangat mungkin dan insyaalloh bisa mengalir lewat suami, berdo'a aja,minta sama Tuhan,boleh kok
| | |
saya bangga menjadi ibu rumah tangga dan istri yang sholehah. .
indahnya berbisnis sambil berbagi, klik www.income-syariah.com/?id=fajrita | | | | | | Location: Tangerang
Posts: 1,338
| |
Replying to:
Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah. Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan “nasehat” dari bapak tercintanya: “Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.” Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga. Ibu Sebagai Seorang Pendidik Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya: “Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33) Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya. Sebuah Tanggung Jawab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6) Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu!” di atas menggunakan Fi’il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka. Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya) Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat. Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6) Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya. Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya: “dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214) Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari 2/91) Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya. Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, “Mau untuk apa nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!” Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-? Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya. Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih! Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia. Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka? Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita? Lalu… Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu? Wallahu a’lam "Aku Bangga Menjadi Ibu RT kalo KAMU???? |
Saya jg bangga menjd Ibu RT..dgn lulusan sarjana di kampus terkenal dan sblm menikah pernah bekerja yg sesuai dgn apa yg sy cita2kan dan di perusahaan terkenal pula.Setelah menikah sy agak berat meninggalkan pekerjaan sy.Tp demi mengabdi kpd suami tercinta untuk menjd istri yg baik sy kesampingkan ego sy.Kodratnya adl laki2 kepala rmh tangga,dia yg bertugas mencari nafkah,jika dia lalai dlm hal itu..kelak suami akan dimintai pertanggungjwbannya dihadapan Allah,begtpun sebaliknya..istri mengurus rmh tangga,mengurus suami yg tlh lelah bekerja,menjd penghibur dikala suami sdg ada mslh,mengurus anak2 dan mendidiknya supaya menjd pribadi yg kuat,jika istri itu lalai,dia jg akan dimintai pertanggungjwbannya dihadapan Allah.
Jgnlah qta malah merepotkan ortu qta yg sudah lelah mengurus qta dr kecil hingga qta sudah menikah..dan jgn pula qta rela membayar mahal seorng pengasuh anak,yg nantinya qta akan kehilangan wkt yg tdk pernah bs terbyr dgn apapun..yaitu mengurus anak qta sendiri.
Boleh istri membantu suami,tp tdk lp dgn kodratnya sebagai perempuan dan jg menjd ibu.
Ini sekedar share pemikiran yaa bund..
Muhammad Wildansyah Wibowo..my everything | | | |
iya intinya, semua bunda disini pasti memahami peran sebagaiistri dan ibu. pilihan kerja atau jai ibu rt, pasti sudah disesuaikan juga dg keadaan hidup dan sifat suami, kebutuhan keluarga, komitmen dg suami, dll. saling respek saja. bunda yg jadi ibu rt n bunda yg kerja&ttp usaha jdi istri n ibu yg baik.
| | |
Kalo di forum sebelah, ngumbar topik begini pasti bikin berantem tak berujung. Haishh... sudahlah bund,,, saya salut buat yg mau jadi irt, salut juga yg susah payah bekerja di luar tanpa menelantarkan anak.
| | |
iya, kalau bangga dengan pilihan masing2, tapi jangan menjatuhkan atau memandang sebelah mata bunda2 yg mengambil pilihan lain. apalagi mengeneralisir motivasi bunda2 yg kerja spt egoisme emansipasi semata dll. saya yakin, bunda2 yg milih bekerja juga memilikki alasan yg mulia dan juga tidak melantarkan anak2 mereka. dan pada porsinya juga saya yakin bunda2 yg milih utk meraih jenjang pendidikan tinggi dan kerja akhirnya, juga akan memprioritaskan anak pada porsinya. juga itu semua kan tergntung sifat dan tipe suami dan juga keadaan. saya juga kemarin mengundur/membatalkan s3 saya utk sementara krn hamil anak pertama. bekerja full time, membiayai hidup saya sendiri dan juga bisa membhagiakan orangtua, di rumah alhmdlhpunya suami yg fair dan baik mau bagi2 kerjaan rumah tangga tanpa ada pembantu (namun saya yg masak n bawain suami bekal sellau), ga pernah jajan diluar, dll. nanti bila anak lahir juga saya dan suami bergantian cutinya utk urus anak di tahun pertama&alhmdlh akan dibantu ibu saya bila saya harus kerja lagi. iya, saya bangga punya suami dan ibu+ayah yg mensupport dan fair. terumtama ibu saya yg backup saya nanti dalam mendidik anak, krn beliau dari saya kecil, ingin saya maju dan tapi tetap imbang dg peran n tngungjwb saya sbg ibu dan istri. alasan saya memilih kehidupan seperti itu? scr garis besar, motivasi saya utk itu adalah ortu saya, suami saya, anak2 saya dan saya ingin memberi lebih ke anak2 cerdas dari keluarga tidak mampu utk meraih pendidikan tinggi agar bisa membantu keluarga mereka. namun hal itu tidak membuat saya mengurani rasa respek dan keaguman saya thdp bunda2 yg milih untuk jadi ibu rt. saya memilikki ibu yg berpendidikan tinggi dan sangat cerdas, tapi memilih jadi ibu rt krn keadaan. jadi sayajuga kagum , respek dan mengerti kesabaran, usaha dan pengorbanan bunda2 yg milih untuk menjadi ibu rt. saya juga respek dg semua pilihan bunda2, krn saya yakin, bunda2 dsni semua paham peran masing2 sbg ibu dan istri. pilihan apapun, dengan jalan apapun, semua bunda disinipasti memprioritaskan peran mereka sbg istri dan ibu, hanya dg cara yg berbeda2 disesuaikan dg keadaan hidup masing2. alangkah baiknya kita tidak saling judge, atau berusaha memaksa atau menjustify pilihan kita ke bunda2 yg memilih jalan lain. bangga itu pasti. tapi saling respek aj dan tidak memandang sebelah pihak pilihan hidup bunda2 yg lain tidak memilih jalan hidup yg sama seperti bunda2. peace
| | | | | Location: Medan
Posts: 1,535
| |
gk bisa konsen bacanya sakitttt mataaa
tp klo bkerja dan suami ridho atasnya kyknya gk ada mslh ya bund,yg nmanya istri harus seizin suami kan
| Silakan daftar untuk menulis pesan :-) |