[Cerpen] Kakak,maaf..
“Ibu sudah menyangka semua ini pasti akan terjadi, tapi sungguh ibu kecewa, kau menyakiti kakakmu lebih dari dugaan Ibu”. Ibu berlalu. Meninggalkanku dengan semua penyesalanku. Dadaku kian sesak. Semakin sesak.
..........
Aku perempuan, kakakku juga seorang perempuan, kami terpaut 3 tahun. Sama-sama perempuan tak membuat kami dekat. Kakakku seorang pendiam, terlihat dewasa. Dan aku kebalikannya. Sifat diamnya itulah yang membuat ku gerah dengan kakakku. Sifat diam yang membuatku merasa diolok-olok, aku kalah dan dia pemenangnya. Hingga suatu hari aku mendapatkan kesempatan untuk menghentikan semuanya, kujatuhkan dia dalam rasa pahit yang sesakit-sakitnya.
Untuk hal keadilan aku selalu dibawah kakakku, dia punya semua yang ingin kupunya. Dia mendapatkannya dan aku tidak. Saat SMP kakakku sudah dipercaya untuk membawa motor ke sekolah, aku hanya meminta sepeda, tak dipenuhi. Tanpa alasan jelas. Pernah suatu hari aku memilih untuk pulang berjalan kaki, sebenarnya salah satu bentuk protesku yang bosan harus menunggu terus. Sekolahku pulang setengah jam lebih cepat dari sekolah kakakku. Untuk pulang aku harus menunggunya. Hari itu kuputuskan untuk pulang jalan kaki, aku harus punya alasan agar dibelikan sepeda. Setengah perjalanan kulalui bersama teman, sisanya sendiri, rumahku paling jauh diantara rumah temanku. Sisa perjalanan itu kulewati cepat dengan berlari. Ya, aku berlari secepat mungkin, aku harus sampai secepat mungkin. Hingga akhirnya aku sampai dirumah bercat orange nan asri. Kuatur nafasku, lalu membuka pagar rumah, bertepatan saat ibu keluar dari pintu depan. Kami bertemu diteras rumah.
"Ra, kakakmu mana? Lah kamu pulang sama siapa? Sendirian?" Selidik ibu dengan nada kebingungan.
“Aira pulang sendiri, bosan nunggu kakak.” Aku masuk rumah dengan nada jengkel.
“Aira, jarak rumah sama sekolah itu jauh, kalau ada apa-apa gimana. Lagian nanti pasti kakakmu bingung nyari kamu kalau kamu nggak ada", ibu mengikuti langkahku. Cepat.
Aku berbalik. Kini kami berhadapan, aku dan ibu.
“Mangkanya beliin sepeda, biar Aira nggak harus nunggu kakak, dan bisa pulang sendiri naik sepeda tanpa harus lari-lari”. Aku berbicara setengah berteriak. Kulangkahkan kakiku cepat menunju kamar, menutup pintunya lalu menghempaskan badan ke atas ranjang. Aku menangis dibawah bantal. Menangis sejadi-jadinya. Lalu gelap. Sampai kudengar samar-samar suara ibu memanggilku. Mataku rasanya panas sekali, tubuhku juga lemas, nyeri saat digerakkan. Butuh waktu hampir semenit untukku membuka mata. Yang kulihat ibu dan ayah. Tangan ibu memegang sesuatu, seperti kain kain, lalu menempelkannya dikepalaku. Aku demam, suhu tubuhku tinggi sekali. 2 hari aku tidak sekolah. 2 hari harus makan bubur, dan 2 hari pula kulihat ibuku menangis. Kakakku jangan ditanya, dia tidak pernah ada saat aku membuka mata. Lihat saja nanti pembalasanku, itu yang terpatri dihatiku. Hari ketiga panasku mulai turun. Ibu masuk ke kamar dengan membawa roti isi ayam kesukaanku, cepat kuhabiskan 2 roti yang disodorkan ibu. Ibu mematikan lampu lalu membuka gorden di kamarku. Mentari cerah, hangat.
“Besok sudah bisa sekolah kan, Nak? Panasnya sudah turun ini.” Ibu memegang kening dan leherku. Aku mengangguk.
“Besok pulang sekolah kamu nggak usah nungguin kakak lagi”. Ooh My God, akhirnya usahaku membuahkan hasil, bayanganku jauh lebih cepat dari bibir ibu yang belum menyelesaikan ucapannya.
“Besok kamu perginya tetep sama kakak, nanti pulangnya ibu yang jemput, jadi Aira nggak perlu nunggu lama-lama lagi.” Terasa tenggorokanku pahit sekali. Rasanya ingin kumuntahkan roti yang baru masuk lambungku. Menyebalkan.
Lanjut, next time...
??
Edit
Quote