Hello bunda-bunda semua, apa kabarnya? Alhamdulillah akhirnya lahir juga putra pertama saya yg diberi nama Kenzie Radhika Hudhiarto pada hari Senin, 17 Juni 2013 pukul 22:40 dengan berat 3,5 kg dan panjang 50 cm. Walaupun maju 9 hari dari due date yg mestinya tgl 26 Juni 2013, tapi perjuangan melahirkannya yg 15 jam secara normal itu lho, rasanya ga ada yg bisa ngalahin! Padahal saat itu saya divonis harus sectio alias caesar. Semoga dengan saya sharing kisah saya ini bisa memotivasi bunda-bunda sekalian untuk melahirkan secara normal ya...
Braxton Hicks alias kontraksi palsu memang sudah saya rasakan seminggu sejak sebelum melahirkan. Tapi baru hari Minggu (16 Juni 2013) dini hari saya pergi ke RS karena merasa kontraksinya sudah rutin 15 menit sekali. Sakitnya lumayan pada saat itu: dari pinggang, perut atas, hingga turun ke perut bawah (yg ternyata rasanya ga ada apa2nya dibandingkan lahiran kemaren...
)
Jam 4:00 saya tiba di RS dan pas dicek, ternyata masih pembukaan 1...
Karena merasa rugi kalo harus nginep di RS (apalagi banyak juga pengalaman teman2 yg pembukaan 1nya untuk anak pertama sampai berhari-hari), maka hari itu saya putuskan untuk pulang ke rumah saja, menunggu bbrp hari lagi sampai pembukaannya bertambah.
Esok harinya (hari Senin, 17 Juni 2013), kontraksi yg saya rasakan semakin kuat dan sering. Saya putuskan untuk ke RS lagi hari itu, paling tidak untuk mengecek pembukaan. Sampai RS jam 7:30 pagi dan dicek, ternyata sudah pembukaan 3. Karena pembukaannya sudah bertambah (dan dari pembukaan 1 ke 3 untuk ukuran anak pertama lumayan cepat yg hanya memakan waktu satu hari), dokter pun memutuskan saya untuk stay di RS dan berharap bisa segera lahir hari itu juga. Saya, suami, dan mertua saya optimis bisa melahirkan normal hanya dalam waktu kira-kira 5 jam saja (yg pada kenyataannya ternyata 3x lipat lamanya...
). Saat itu saya pilih ruang bersalin eksklusif (delivery suite), dimana observasi dan proses bersalin dilakukan di ruangan yg sama. Maklum, anak pertama, jadi masih tegang kalo ruang observasinya jadi satu dengan yg lain.
Pembukaan 3 itu saya msh bisa jalan-jalan ditemani suami saya. Malah sampai sempat keliling RS (walaupun di tengah jalan berhenti beberapa saat karena merasakan kontraksi, tapi tetap saya paksakan supaya bisa mempercepat pembukaan). Sesampainya di ruang bersalin (kira2 jam 10:30), pembukaan saya naik 1 cm, jadi pembukaan 4. Sampai kira2 jam 16:00, pembukaan saya baru sampai pembukaan 6. Saya sempat cemas karena dokter kandungan saya sedang off, seminar full seharian selama satu minggu. Apalagi kondisi Jakarta pada saat itu sedang hujan dan ada demo, pasti memakan waktu juga untuk beliau agar bisa cepat sampai ke RS.
Jam 19:00 saya sudah masuk pembukaan 8. Harusnya sih kalo udah di atas pembukaan 6, ke pembukaan selanjutnya bisa lebih cepat, namun saya stuck di pembukaan itu. Pas dicek, selain ketuban belum pecah, kepala janin juga masih terlalu tinggi untuk ukuran pembukaan 8. Mungkin faktor panggul saya yg terlalu sempit dan kepala janin juga terlalu besar. Ternyata dokter pengganti dan para bidan sudah membahas itu semenjak saya pembukaan 7. Dan apabila sampai jam 21:00 tidak ada kemajuan (kepala janin tidak turun juga), saya terpaksa harus sectio alias caesar. Hati ibu mana yg tidak hancur mendengar hal itu (apalagi udah pembukaan 8 dan perjuangan udah 12 jam). Namun, walaupun demikian, saya tetap optimis bisa melahirkan secara normal.
Jam 20:00 akhirnya dokter kandungan saya pun datang dan melihat pembukaan. Walaupun sudah dipancing dengan pemecahan ketuban dengan kateter, ternyata masih stuck di pembukaan 8 dengan posisi kepala janin yg masih terlalu tinggi. Para bidan sudah mulai pasrah dengan keadaan saya.
Tapi mungkin memang sudah petunjuk dari Allah swt, bidan mengabarkan kepada saya bahwa ruangan operasi penuh dan sectio baru bisa dilakukan pada pukul 22:00. Akhirnya muncul secercah harapan bahwa ada tambahan waktu untuk saya bisa melahirkan secara normal. Karena melihat perjuangan saya yg luar biasa untuk bisa melahirkan secara normal, akhirnya dokter memutuskan untuk metode induksi (walaupun kemungkinannya kecil). Setelah diinduksi, kontraksi yg rasakan sungguh luar biasa dan tak ada hentinya. Dorongan untuk mengejan semakin kuat, padahal pembukaan belum lengkap.
Jam 21:00 bidan datang kembali dan menyuruh saya dan suami untuk bersiap-siap menandatangani berkas-berkas persetujuan sectio. Namun dengan lantang saya katakan tidak! Saya dan suami setuju untuk menandatangani berkas-berkas tersebut nanti pada saat memang jika ruangan operasi sudah kosong (jam 22:00). Jam 22:00, di pembukaan 10, masih tetap tidak ada perubahan: kepala janin masih terlalu tinggi. Melihat semangat saya masih ada untuk melahirkan secara normal, akhirnya dokter berkata, "Sepertinya dorongan mengejan ibu sudah kuat sekali. Coba saya lihat ketika kontraksinya datang dan ibu mengejan, apa bisa kita keluarkan." Bayangkan, pembukaan 10, kepala janin tinggi, kontraksi datang, tangan dokter masuk untuk mengecek. Stress, sakit luar biasa, lelah, pasrah, hingga akhirnya semangat saya timbul lagi ketika dokter mengatakan, "Saya liat, kalo ibu mengejan, kepala janin bisa maju. Tapi ibu harus ekstra tenaga karena mengejannya harus kuat sekali." Akhirnya dengan sisa-sisa tenaga yg ada, saya mengejan sekuat mungkin. Dibantu dengan bidan yg mendorong perut saya agar janin turun dan dokter yg terpaksa harus melakukan episiotomi alias pengguntingan yg cukup lebar, tak lama kemudian, jam 22:40 terdengar tangisan bayi saya yg akhirnya berhasil keluar. Semua yg ada di ruangan bersalin bersorak melihat perjuangan kami untuk melahirkan secara normal berhasil. Saya pun terharu dengan perjuangan saya, suami, mertua, dokter, dan seluruh bidan di ruangan itu. Apalagi ketika bayi saya ditaruh di dada untuk proses IMD (Inisiasi Menyusui Dini), saya sampai menitikkan air mata (sampe dijait pun udah ga berasa, padahal lebar juga
). Perjuangan saya untuk melahirkan secara normal akhirnya tidak sia-sia.
Bukan cuma saya aja yg berjuang, saya juga salut sama suami. Dia yg takut banget liat darah (bahkan liat darah mimisannya sendiri pun hampir pingsan), memberanikan diri ngasih support di ruang persalinan. Cuma ya tetep, megang tangan sambil ngeliatin muka saya aja, ga berani liat ke bawah...
Tapi gatau juga sih, kalo ga ada suami, mungkin saya juga udah nyerah...
Tak lama setelah dijahit, akhirnya jam 01:00 saya bisa istirahat juga. Abis itu langsung sungkem sama ibu dan mertua, ampun deh, begini toh rasanya melahirkan...
Jadi untuk para calon bunda di luar sana yg pro normal, kalian pasti bisa, jauh lebih hebat daripada saya. Semoga pengalaman saya ini bisa memotivasi kita semua. Dan untuk para suami, dukungan kalian amat sangat berarti bagi kami. Semangat pro normal!