Tiga atau empat bulan yang lalu, saya menikah dengan seorang duda beranak satu. saya mengenalnya lewat aplikasi kencan. setelah beberapa kali chat, telpon dan video call kami akhirnya bertemu.
singkat cerita karena sama-sama merasa klop. merasa cocok kami akhirnya memutuskan menikah.
.
ujian pernikahan kami pun dimulai….
seminggu sebelum menikah saya sudah bilang bahwa saya tidak bisa LDR lagi. saya membayangkan bagaimana sulitnya mengasuh anak, sedangkan kami harus LDR, sedangkan pilihan untuk mengikuti suami memang tidak ada dan saya tidak mungkin meninggalkan pekerjaan saya yang sekarang.
puluhan cara ditempuh bagaimana caranya suami saya bisa pindah kerja di area. tapi hingga cerita ini saya tulis, kami masih harus menjalani LDM. dia hanya bisa pulang saat weekend, jika boss berbaik hati, bisa dipanjang sampe Selasa, tapi itu sangat jarang sekali.
Sudah menikah, dan setiap malam melihat ranjang disebelah selalu kosong, membuat saya sedih. duh kok gini banget yaa pasangan yang juga nikah. gak ada nemenin saya kala saya sulit tidur di malam hari. yaa meski semua itu akan terbayar saat weekend tiba, dan saya yang selalu menghitung malam-malam dimana saya bertahan sendirian di dalam kamar.
bagaimana dengan anak yang dia bawa? beberapa bulan sejak kami mengenal, dia memberitahukan bahwa anaknya terdiagnosis ADHD. semula, sejak saya pertama bertemu lalu kami bertemu untuk selanjutnya, saya sudah membatin, ada yang beda dengan anak ini. meski suami saya belum memberitahu waktu itu. hingga akhirnya memang benar, diagnosis ADHD. awalnya saat kami bertiga bertemu, saya tidak terlalu masalah, meski saya tau anaknya ADHD. tapi setelah menikah semua berubah. saya mau tidak mau seharian dengan anaknya. mau tidak mau kami berinteraksi. masalah muncul disana.
saya gak siap. saya frustasi. beberapa kali saya lepas kontrol, dia tantrum. saya lelah. dia berteriak saya pun meledak. saya bukan malaikat. saya manusia biasa. saya punya sisi lain yang juga bisa meledak jika diganggu.
mana lagi hampir setiap hari dia mengganggu. entah itu mengejek, memukul punggung, berkata jorok, berkata-kata manipulatif dan imajinasi yang liar dan hal diluar perilaku anak normal lainnya. belum lagi tingkahnya yang luar biasa tidak kenal lelah bergerak kesana-sini, berteriak.
saya salut untuk orang tua tunggal yang mengurus anak ADHD atau berkebutuhan khusus yang sabar, kuat dan selalu sehat. bisa dibayangkan, jika kami orang tua sakit, berapa kali lipat dobel capeknya mengurus anak ini?
disatu titik, kadang saya ingin menyerah. mudah sekali memang berputus asa. meski yaaa disisa sisa tenaga, saya tetap berharap pada terapi-terapi yang masih terus di jalani dan dilalaui. seperti terapi okupasi, terapi Neurofeedback.
kesampingkan dulu soal bahagia. goal saya adalah bagaimana perilaku dia berubah. berhenti membuat lelucon konyol, berhenti berbicara aneh dan imajinatif. titik dimana saya bisa menerima dia sepenuhnya adalah dia bisa mengerti dan menghormati saya, tidak lagi memukul punggung atau mengolok-olok saya dengan "bunda kentut", meski dia masih anak-anak, tapi saya punya batasan. dan jika terus dilakukan seperti itu, saya MUAK.
saya sampai dititik tidak peduli. tidak peduli dengan apa yang dia ceritakan, karena saya kadung tidak percaya dengan semua cerita imajinasinya meski dia percaya bahwa ceritanya sungguhan.
saya kerap membatin, apakah keputusan saya menikah dengan duda anak satu apalagi ADHD adalah hal yang salah? semoga tidak.
sulit rasanya untk selalu tenang dan sabar jika menghadapi anak ADHD yang tantrum, ngamuk, atau ngoceh gak jelas.
saya lelah mental-batin.