PERTANYAAN
"Jika ada wanita haid, kemudian di akhir durasi haidnya dia suci di waktu Ashar, apakah dia wajib meng-qadha waktu dzuhur atau tidak?"
Atau;
"Jika ia sudah suci di waktu isya , apakah dia wajib mengqadha shalat maghribnya?”
JAWABAN
taqdarul waqti yang menyebabkan perbedaan ulama dalam berpendapat.
1. Madzhab Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah tidak menyebutkan secara jelas apakah harus meng-qadha’ dhuhur dan maghrib jika terlewat atau tidak, akan tetapi mazhab ini hanya menyebutkan keumuman tidak wajibnya mengqadha’ shalat bagi wanita haid atas shalat-shalat yang ia tinggalkan selama masa haidnya berlangsung.
As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut :
فَإِذَا طَهُرَتْ قَضَتْ أَيَّامَ الصَّوْمِ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ
Dan jika dia (wanita haid) sudah suci, maka wajib baginya mengganti puasa (puasa wajib yang terlewat) dan tidak ada kewajiban atasnya mengganti shalat (yang terlewat).
[ As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 3 hal 81]
2. Madzhab Al-Malikiyah
Para ulama mazhab Al-Malikiyah sepakat bahwa jika seorang perempuan suci di sore hari, yakni di akhir waktu dzuhur menjelang ashar. Jika masih ada waktu yang sekiranya cukup untuk mengerjakan kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya mengerjakan shalat dhuhur, dan kemudian melaksanakan shalat ashar setelah masuk waktunya.
Akan tetapi jika waktu yang tersisa di sore itu hanya cukup untuk mengerjakan kira-kira 4 rakaat atau kurang dari itu, maka baginya hanya wajib mengerjakan shalat ashar tanpa mengerjakan shalat dhuhur. Karena waktunya dianggap sudah berlalu.
Ibnul Jallab (w. 378 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab At- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas menuliskan sebagai berikut :
وليس على الحائض قضاء ما فات وقته من الصلوات، وعليها أن تصلي ما أدركت وقته من الصلوات. فإن أدركت أول الوقت وجب عليها الأداء، وإن أدركت آخره فكذلك أيضًا، وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها. وإن كان الذي بقي عليها من النهار قدر أربع ركعات أو ما دونهن إلى ركعة واحدة، صلت العصر لإدراكها آخر وقتها، وسقط الظهر عنها لفوات وقتها.
Tidak ada kewajiban bagi seorang wanita meng-qadha’ shalat yang terlewat, kewajibannya hanya melaksanakan shalat pada waktunya. Jika dia suci di awal waktu shalat maka wajib mengerjakan shalat itu, begitupun jika dia suci di akhir waktu shalat.
Dan hal itu terjadi jika ia suci di siang hari (akhir waktu dzuhur), dan masih ada waktu shalat kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya shalat dhuhur, begitu juga shalat ashar dan ashar, karena dia masih masuk dalam waktu shalat (dzuhur). Dan jika waktu yang tersisa di siang hari itu hanya cukup untuk mengerjakan shalat 4 rakaat atau kurang, maka dia hanya wajib shalat ashar karena hanya mendapati akhir waktu dzuhur (menjelang ashar) dan gugur kewajiban shalat dhuhur karna waktunya sudah lewat.
[Ibnul Jallab, At- Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas, jilid 1 hal 111]
Ats- Tsa’labi (w. 422 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah menuliskan sebagai berikut :
فلو طهرت الحائض وبلغ الصبي لقدر خمس ركعات، فإلى أن تطهر وتلبس وبقي عليه قدر ركعة كان عليه العصر دون الظهر
Jika (di akhir waktu dzuhur) seorang wanita telah suci dari haid, dan anak yang baru saja baligh mendapati waktunya masih cukup untuk shalat selama 5 rakaat, maka wajib baginya dhuhur dan kemudian ashar. Namun jika waktu yang tersisa hanya cukup untuk mengerjakan 1 rakaat, maka wajib baginya shalat ashar tanpa shalat dhuhur.
[Ats- Tsa’labi, Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah, jilid - hal 266]
3. Madzhab Asy-Syafi’iyah
Ulama dari madzhab Asy-Syafi’iyah mengatakan, jika seorang wanita yang suci dari haid dan masih ada waktu sore (secara mutlak, tidak membatasi sisa waktunya) maka wajib baginya mengganti shalat dhuhur dan melaksanakan shalat ashar.
Imam Al-Haramain (w. 478 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnyaNihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab menuliskan sebagai berikut :
ثم يتفق انقطاعُ الحيض في آخر النهار، فيجب قضاءُ الظهر مع العصر
Kemudian mereka (ulama madzhab Syafi'i) sepakat jika darah haid sudah berhenti di akhir siang hari, maka wajib baginya qadha’ shalat Dhuhur dan Ashar.
[Imam Al-Haramain, Nihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab, jilid 1 hal 398]
4. Madzhab Al-Hanabilah
Dalam permasalahan ini, ulama mazhab Al-Hanabilah dengan jelas mengatakan kewajiban bagi seorang wanita mengganti shalat dhuhur/ maghrib dan melaksanakan ashar/ isya’ walaupun waktu yang tersisa dari waktu shalat tersebut hanya sebentar.
Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughnimenuliskan sebagai berikut :
ولنا ما روى الأثرم، وابن المنذر، وغيرهما، بإسنادهم عن عبد الرحمن بن عوف، وعبد الله بن عباس، أنهما قالا في الحائض تطهر قبل طلوع الفجر بركعة تصلي المغرب والعشاء، فإذا طهرت قبل أن تغرب الشمس، صلت الظهر والعصر جميعا
Dalam mazhab kami (Hanabilah), seperti apa yang diriwayatkan Al-Atsram, dan ibnu mundzir, dari yang lainnya dengan sanad dari Abdurrahman bin 'Auf, dan Abdullah ibnu Abbas, dalam masalah haid. Jika ia bersuci sebelum terbit fajar (akhir waktu isya) masih ada waktu satu rakaat: maka baginya sholat maghrib dan isya, dan apabila suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar), maka baginya menjama' shalat Dzuhur dan Ashar.
[Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal 287]
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :
قَوْلُهُ (وَإِنْ بَلَغَ صَبِيٌّ، أَوْ أَسْلَمَ كَافِرٌ، أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ، أَوْ طَهُرَتْ حَائِضٌ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ بِقَدْرِ تَكْبِيرَةٍ: لَزِمَهُمْ الصُّبْحُ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ: لَزِمَهُمْ الظُّهْرُ وَالْعَصْرُ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ: لَزِمَهُمْ الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ)
Apabila seorang anak kecil telah baligh, orang kafir masuk islam, orang gila menjadi sadar, atau wanita yang haidh itu suci sebelum terbitnya matahari maka mereka wajib shalat subuh, tapi jika kejadiannya sebelum matahari terbenam maka mereka wajib shalat Dzuhur dan Ashar, dan kalau kejadiannya sebelum terbit fajar maka mereka wajib menunaikan shalat maghrib dan isya.
[Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 1 hal 442]
#Kesimpulan
Dari uraian para ulama dari empat madzhab di atas, maka kita pahami bahwa para ulama dari madzhab Syafi'i dan Hambali berpendapat adanya kewajiban meng-qadha shalat dzuhur bagi wanita haid yang suci di waktu ashar. Begitu juga wajibnya meng-qadha' shalat maghrib bagi ia yang suci di waktu isya'. Hanya saja masing-masing agak sedikit berbeda terkait waktunya.
Walaupun demikian, madzhab Hanafi menyendiri dalam pendapatnya berkaitan dengan hal ini. dan madzhab Maliki mensyaratkan adanya waktu yang cukup di akhir waktu shalat untuk melaksanakan shalat segera paska suci dari haid.