(SEMACAM) CATATAN HATI
SEORANG SUAMI
Saya sering mengatakan bahwa
kecantikan perempuan meningkat
saat mereka sedang hamil. Jika
saya harus bicara angka, mungkin
sekitar 27.3%. Tetapi, jika mereka
tersenyum, saya tak bisa
menghitung apa-apa lagi: Senyum
seorang perempuan yang sedang
mengandung adalah senyum
seorang ibu. Dan karena seorang
ibu adalah malaikat yang terlihat,
sulit mendeskripsikan betapa
agung kecantikan dan
kemuliaannya.
Ini tentang Rizqa, istri saya, ketika
dia sedang mengandung.
Sejak pertama kali bertemu
dengannya, saya selalu mengagumi
kecantikan Rizqa. Tetapi, sejak saat
itu, selalu saja ada hal yang bisa
saya kritisi dari penampilannya. Ini
contohnya: Saya tak begitu suka
pipinya yang terlalu tirus. Dan
meskipun banyak teman-temannya
yang iri pada tubuh Rizqa yang
selalu ramping, saya tak benar-
benar menyukainya. Bagi saya,
Rizqa selalu terlalu kurus untuk
perempuan ‘cantik’ tipe saya. Sejak
menikah dengannya di tahun 2009,
saya selalu memintanya menaikkan
berat badan. Saya menggodanya
untuk makan banyak. Dia mengikuti
nasihat saya. Lalu kami menjelajahi
banyak tempat makan enak.
Sialnya, Rizqa tetap saja kurus
sementara laju berat badan saya
tak terbendung!
Semua itu membuat saya mulai
memakai satuan kilogram sebagai
penanda waktu: Sejak pertama kali
menikahi Rizqa 25 kg yang lalu,
saya tak pernah berhasil
memahami bagaimana metabolisme
tubuhnya bekerja. Dia bisa makan
enak sebanyak yang dia mau, tapi
tak pernah mendapatkan masalah
kelebihan berat badan. Suatu pagi,
dia menjerit girang dari kamar
mandi, berat badannya naik! Buat
saya, itu bukan berita baru yang
menggembirakan, berat badannya
tak pernah beranjak dari kisaran 41
atau 42 kg… Seperti pagi itu, 43
adalah berat badan terbaiknya.
Maka saat Rizqa hamil, dia segera
menjelma menjadi perempuan
cantik tipe saya yang
sesungguhnya. Pipinya lebih berisi,
membuat wajahnya lebih cerah,
senyumnya lebih indah. Dari semua
alasan mengapa saya percaya
bahwa kehamilan meningkatkan
kecantikan seorang perempuan,
persepsi subjektif saya tentang
Rizqa mengalahkan semuanya.
Melihat Rizqa bangun pagi dengan
berat badan 46 atau 48 atau 50 kg,
dengan cahaya pagi menyinari
sebagian wajah dan rambutnya,
saya melihat seorang istri yang
mengagumkan. Saya melihat
seorang ibu bagi benih cinta kami
berdua. Maka bagi saya, angka
27.3% menjadi tak penting lagi,
seperti tak pernah penting dari
mana angka itu berasal.
Sebagai seorang suami, saya selalu
menikmati hari-hari yang pendek
ketika istri saya sedang
mengandung. Sembilan bulan
selalu sangat singkat. Ketika pagi
hari mendengar kabar bahwa istri
saya hamil, saya berjanji akan jadi
suami siaga. Tetapi sore harinya,
saya lupa mencuci piring... Dan
Rizqa juga yang harus
melakukannya. Malam harinya saya
minta maaf, seraya berjanji besok
pagi akan lebih giat lagi
mengerjakan tugas-tugas domestik.
Apa yang terjadi keesokan harinya?
Ah, kelemahan seorang lelaki
romantis adalah sifatnya yang
pelupa, bukan? Maka Rizqa tetap
menjadi seorang istri yang
mengerjakan hampir semua
pekerjaan rumah dengan baik.
Meski sedang mengandung, dia
tetap yang mengurusi semuanya,
dari menyiapkan sarapan buat saya
hingga melipatkan baju tidur saya.
Dari mencuci baju hingga
merapikan tempat sepatu. Di
rumah, tugas saya selalu sederhana
saja, seperti di film-film:
Membelikan bunga atau coklat,
menulis puisi, atau mengajaknya
menari di dapur sambil bernyanyi
dengan cara pengambilan nada
awal yang melulu terlalu tinggi
satu ketukan. Saya selalu suka
ketika Rizqa menertawakan saya
bernyanyi. Saya selalu suka caranya
tertawa.
Dan sembilan bulan pun berlalu
begitu cepat…
Kali ini Rizqa sedang mengandung
anak kedua kami. Tak terasa usia
kandungannya sudah 38 minggu.
Sesuai perhitungan dokter, kami
tinggal menunggu hari saja, atau
mungkin jam, sampai Rizqa
diserang rasa mulas hebat bertubi-
tubi yang membuatnya harus
terbaring di ranjang persalinan.
Saya ingat empat tahun lalu, hari
di saat Rizqa akan melahirkan anak
pertama kami, Kalky…
Kapan seorang perempuan tampak
sangat buruk rupa? Mungkin saat
mereka sedang melahirkan seorang
bayi dari rahimnya. Wajahnya yang
kusut dan rambutnya yang lengket
dengan keringat. Teriakkan-teria
kkannya. Gerak-gerik dan gesturnya
yang tak enak dipandang mata.
Semua kerut di wajahnya. Semua
hal buruk dari penampilannya.
Sebagai seorang suami yang pernah
menemani istrinya melahirkan, saya
bisa mengatakan bahwa: Ketika
seorang perempuan tengah
berjuang di ranjang persalinan,
kecantikannya menurun sekitar
61.3% dari penampilannya di hari-
hari biasa. Karena satu dan lain
alasan, angka itu bisa saja makin
besar.
Tetapi, jika Anda pernah
mengalami perasaan seperti saya
mengalaminya, justru di saat-saat
seperti itulah kita begitu mencintai
dan mengagumi seorang istri. Di
saat-saat seperti itu, kita tak lagi
mempedulikan paras, penampilan,
bau badan, atau apapun yang fana
dan kasat mata. Cinta ternyata
bukan tentang apa yang kita lihat
dengan mata atau apa yang kita
dengar dengan telinga. Cinta
adalah apa yang kita rasakan…
jauh… jauh hingga lubuk hati yang
terdalam. Di mana kita menyayangi
seseorang bukan karena
penampilan fisik atau bentuk
tubuh, tetapi sesuatu yang
melampaui semua itu.
Saya selalu ingat ketika melihat
istri saya sedang melahirkan, saat
semua ego saya sebagai seorang
laki-laki tiba-tiba runtuh. Di sana
saya baru menyadari bahwa
sepanjang sejarah ternyata laki-laki
tak pernah lebih kuat dari seorang
perempuan. Mungkinkah ada
peradaban manusia tanpa
kehadiran seorang ibu? Tak! Apa
yang kita puja-puji dari penampilan
seorang perempuan, tak berarti
apa-apa dibanding keagungan,
keberanian dan pengorbanannya
untuk menjaga rasa cinta dan kasih
sayang yang diditipkan Tuhan pada
manusia. Perempuan adalah ibu,
yang melahirkan, melindungi,
merawat, dan membesarkan
peradaban.
Hari-hari ini, jam-jam ini, Rizqa
mulai mengeluhkan rasa sakit dan
mulas menjelang persalinannya.
Beberapa kali dia meminta saya
memijat punggungnya atau sekadar
mengusap-usap bagian belakang
perutnya. Tiba-tiba saya dijerang
ketakutan yang luar biasa. Tiba-
tiba kekhawatiran menguasai
sebagian besar wilayah perasaan
saya. Maka di antara semua pikiran
buruk, saya selalu berusaha
menyelipkan doa: Semoga dia baik-
baik saja dan Tuhan memberikan
kekuatan yang jauh lebih besar
dari mahasakit yang akan
dihadapinya.
Ternyata, saya mencintai istri saya.
Sangat mencintainya. Ternyata,
saya sangat menyayangi Rizqa. Jauh
melebihi alasan apapun tentang
bahwa dia cantik atau tidak,
tentang ukuran-ukuran berat
badannya, tentang apa saja. Saya
selalu bilang pada Rizqa bahwa
mungkin saya lebih mencintai dan
menyayangi Kalky daripada
mencintai dan menyayanginya.
“Tidak apa-apa,” katanya, sambil
tersenyum. Senyum terbaik di
dunia. Tetapi perlahan ada
perasaan asing yang muncul dari
dalam hati saya, semacam
pertanyaan: Mungkinkah akan ada
Kalky jika saya tak menikahi Rizqa?
Mungkinkah ada anak yang sangat
saya sayangi tanpa Rizqa yang
mengandung dan melahirkannya?
Suatu hari Rizqa pernah memberi
saya teka-teki yang sulit: Jika saya
harus memilih kehilangan Kalky
atau kehilangan Rizqa, mana yang
akan saya pilih? Saya pernah
menjawab pertanyaan itu dengan
dua ‘kemungkinan’ jawaban yang
tersedia. Tetapi rasa takut dan
khawatir salalu menjadi awan gelap
dalam pikiran saya.
Tinggal beberapa hari lagi, atau
beberapa jam lagi, Rizqa akan
melahirkan. Saya ingat semua janji
saya tentang ingin menjadi tua
bersamanya. Tentang ingin selalu
membuatnya tersenyum. Tentang
mengobati semua rasa sakitnya.
Tentang membahagiakannya.
Tentang mengajaknya naik haji
bersama. Tentang mencuci piring
dan membagi pekerjaan rumah
berdua. Tentang membangun
halaman belakang impiannya.
Tentang tidak tidur terlalu malam.
Tentang apa saja.
Ah, adakah yang lebih
menenangkan daripada doa-doa?
Melbourne, 13 November 2014
Fahd Pahdepie