Mertua pasti bela anak nya

Replying to:

saya stuju dgn istilah "terkontaminasi"
tapi bu happy untuk nyembuhin orang sakit jiwa itu butuh dampingan keluarga. itu yg nmr utama. suami ts bukan psikopat bu. gaboleh lgsg menjudge pnyakit jiwa dgn asal. walopun suaminya punya sakit jiwa tp bukan psikopat. sy tau krn bu ts prnh nyerita klo suaminya itu kata psikiaternya skit xxxxx namanya.
yg jd masalah, keluarga gmn dulu yg bisa dampingi orang sakit sprti itu ?
jawabannya kluarga yg mentalnya sekuat baja. klo mentalnya ky bu ts ini nih yg bisa "terkontaminasi" .

sy heran asli heran bu ts.
dr trit ibu sblm2nya sudah bnyk solusi buat ibu.
dan saya trmsk yg ngsh solusi via pm yg ibu sndiri tau sy punya mslh yg sama walopun bukan suami sy yg sakit tp anggota kluarga sy yg lain.
dr yg ngsh saran pisah,ngsh saran pengobaran,ngsh saran untuk sabar.
tp ko keulang lagi. dan lagi2 ts bilang ga tahan.
klo mmg ga tahan .jgn memaksakan lah bu ts.
jangan pernah maksain klo mental sndiri aja blum kuat. yg jd ntar ibu malah "terkontaminasi" sprti kt bu happy.
kn sudah prnh d blg klo suami ibu itu gabisa dilawan .krn mmg penyakitnya begitu. itu jg klo iya bener suami ibu sakit. klo ngga ya buat apa sy komen disini ya. bu ts kn hnya pngn curhat.
yowes smiga langgeng terus ya bu,klo mmg ibu gamau pisah.
maaf klo ibu g suka komen sy abaikan saja.

Replying to:

Makasih ya bunda semua. Kalo penyakit itu kan ga ada yg mau bund. Emang siapa sih yg mau dapat penyakit seperti itu. Jd saya sebenar nya masih sayang dan berharap kalo suami bisa sembuh. Bunda2 ga pernah tau rasanya di posisi saya kalau blum ngalamin sendiri. Dan suami bersikap baik sekali dengan anak, tdk pernah yg namanya mukul anak. Dan kl lg ga kumat suami juga sangat sayang banget kadang suami juga curhat bund ke saya bilang ke saya kl dia ga tau knp bisa begitu perbuatannya. Dan suami juga bilang siapa sih yg mau punya penyakit ini.

Mungkin bunda melan anggreani yg lebih memahami ini di banding bunda lain yg ga pernah ngalamin.

Saya juga minta maaf bukan nya saya ga mau di kasih masukkan kalo masukkan nya enak bener bilang pisah.... Coba bunda ada di posisi saya bunda sangat sayang sekali dong pastinya sama suami dan misalnya punya anak juga 2 yg masih kecil2. Saya bertahan juga karna anak, kasian anak masih kecil ga punya bapak. Kl bunda berpikir saya bisa dapat suami lagi, itu juga ga gampang bund bisa di bilang saya uda trauma hubungan dengan laki2 jadinya kl begini

Replying to:

Makasih ya bunda semua. Kalo penyakit itu kan ga ada yg mau bund. Emang siapa sih yg mau dapat penyakit seperti itu. Jd saya sebenar nya masih sayang dan berharap kalo suami bisa sembuh. Bunda2 ga pernah tau rasanya di posisi saya kalau blum ngalamin sendiri. Dan suami bersikap baik sekali dengan anak, tdk pernah yg namanya mukul anak. Dan kl lg ga kumat suami juga sangat sayang banget kadang suami juga curhat bund ke saya bilang ke saya kl dia ga tau knp bisa begitu perbuatannya. Dan suami juga bilang siapa sih yg mau punya penyakit ini.

Mungkin bunda melan anggreani yg lebih memahami ini di banding bunda lain yg ga pernah ngalamin.

Saya juga minta maaf bukan nya saya ga mau di kasih masukkan kalo masukkan nya enak bener bilang pisah.... Coba bunda ada di posisi saya bunda sangat sayang sekali dong pastinya sama suami dan misalnya punya anak juga 2 yg masih kecil2. Saya bertahan juga karna anak, kasian anak masih kecil ga punya bapak. Kl bunda berpikir saya bisa dapat suami lagi, itu juga ga gampang bund bisa di bilang saya uda trauma hubungan dengan laki2 jadinya kl begini

Replying to:

Akhirnya Istri yang Teraniaya Itu Menyerah

"Jatuh dari tangga, dok."
Kata Mar pasienku yang sering sakit radang lambung kambuhan itu ketika kutanya kenapa ada lebam di bawah kelopak mata kirinya.

"Ibu yakin?"
Tanyaku agak menyelidik. Dua bulan lalu saat dirawat karena muntah-muntah hebat, sekilas terlihat ada lebam-lebam di perutnya samar-samar dan juga di bahu dan tengkuknya. Hasil laboratorium terlihat normal, bukan kelainan pembekuan darah. Apakah ini penganiayaan? Kekerasan rumah tangga?

"Benar, dok. Saya terjatuh. Sakit radang lambung ini terkadang membuat saya lemas seperti pingsan dan hilang keseimbangan, dok."
Jawabnya sungguh-sungguh, berusaha meyakinkan ku.

"Baiklah. Tetapi yang penting penyakit gastritis kronis begini biasanya ada masalah dengan pikiran. Ibu pasti kurang tenang dan banyak yang bikin susah. Orang yang bahagia dan selalu gembira, jarang sakit gastritis lama-lama..."
Kataku menerangkan masalah si ibu, masalah fisiknya dan mungkin sesuatu yang menyusahkan jiwanya. Tiga minggu kemudian dia datang lagi dengan nyeri ulu hati, tetapi kali ini dengan lebam di mata kanannya.

"Ibu bukan jatuh. Ibu dianiaya suami, kan? Dan itu yang membuat ibu menderita dan selalu sakit lambungnya."
Kataku 'to the point' saja.

"Iya, dok. Suami saya suka memukul kalau lagi kumat gilanya. Dia sayang dan cinta pada saya, tetapi itulah, kalau dia sedang banyak pikiran akibat pekerjaan kantor atau masalah dengan keluarga dekatnya, dia tiba-tiba suka memukul saya kalau saya salah omong sedikit saja. Ini saja lebam karena saya bikinkan kopi dia bilang kurang manisnya..."
Mar bercerita sambil terisak-isak nelangsa.

"Kenapa ibu Mar tidak melapor polisi atau minta cerai saja?"
Tanyaku herannya.

"Itulah, dok. Saya terlalu lemah, atau terlalu cinta. Setelah dia pukul dan saya mengancam pergi dan minta berpisah, dia kembali tersadar dari gilanya, memeluk saya, berlutut lalu mohon ampun dan iba. dia bilang sejak kecil sering dipukuli ayah dan ibunya, jadi kebiasaan kekerasan itu membekas padanya. Dia meminta saya membantunya mengendalikan amarahnya dan bukannya meninggalkannya. Dan aku pun berusaha membantunya..."
Mar menceritakan itu dengan linangan air mata.

"Jadi, ibu rela terus dipukuli demi mengubah kebiasaan kekerasan suami anda dan menjadi kelembutan? Sampai kapan anda akan bertahan?"
Tanyaku penasaran.

"Saya sudah berkomitmen mendampingi suamiku dengan penuh kesadaran. Walaupun sakit aku akan mendampinginya dan berusaha membantu dia memperbaiki kekurangannya..."
Kata Mar dengan tabahnya.

"Walau sesekali harus memar.."
Aku pun geleng-geleng kepala.

"Ya, walau sesekali harus memar...Saya yakin, kalau diupayakan penyembuhan dengan nasehat dan terapi kejiwaan. Suamiku pasti suatu saat akan banyak perubahan..."
Mar bersemangat sekali membicarakannya.

Dua bulan kemudian sebuah mobil memasuki halaman parkir emergensi dan tampaklah seorang laki-laki menggendong seorang wanita berbadan kurus, tampak tak berdaya,
"Tolong istri saya, dok. Dia tidak sadar dari tadi sore..."
Katanya sambil menangis sesengukan.

"Kenapa ada lebam di belakang telinganya? Kecelakaan ya?"
Tanya si perawat UGD.

" Jatuh dari tangga, dok. Istri saya pingsan, mungkin sakit lambungnya kambuh karena terlambat makan,"
Mendengar ada kata-kata lebam, pingsan dan sakit lambung itu pun aku langsung melihat si pasien dan setarik nafasku pun tertahan. Itu pasien ku Mar. Ingin rasanya kutangkap sang suami, lelaki yang mengantarkan istrinya itu. Pasti Mar dipukul atau didorongnya lagi. Dan kali ini terlihat fatal. Karena Mar tidak sadar.

"Rawat di ICU! Tekanan darahnya rendah, nafas cepat dan jantungnya cepat sekali."
Kataku sambil memasukkan beberapa oabat untuk menjaga metabolisme otak. Seharian diobati di ruang intensif. Dirawat bersama dokter penyakit dalam, syaraf dan anestesi, Mar belum bangun-bangun juga. Wajar, hasil CT scan menunjukkan ada perdarahan di otak di sisi yang ada lebam di belakang kepala. Positif, benturan di belakang kepala itulah yang membuat tak berdaya.

"Bangunlah sayang. Dampingi saya. Bantu saya mengobati masalahku, bantu saya mengikis habis kelemahan saya..."
Kata sang suami di hari ke 3 Mar tergeletak dalam ketidakberdayaannya, kata-kata yang mengharukan bagi perawat dan dokter lain yang sempat mendengarnya, tetapi sangat memuakkan bagiku. Ingin sebenarnya kulaporkan si penyiksa ini, tetapi sulit mendapatkan bukti. Dan pasti tidak ada saksi, karena keduanya belum punya anak dan hidup di rumah hanya berdua.

Kondisi Mar sudah gawat, tekanan darahnya rendah dan gumpalan darahnya banyak sekali. Mau dioperasi otaknya untuk mengeluarkan gumpalan darah, kemungkinannya 'fifty-fifty'. Bisa selamat si Mar atau malah bisa langsung mati. Jadi semua pun memutuskan meneruskan obat-obatan saja dan tak usah operasi. Dan hari ke empat, monitor di atas kepala Mar dirawat berbunyi dan 'flat', garis lurus.

Tiga puluh menit petugas ICU mencoba melakukan pijat jantung, tetapi akhirnya simpul sudah. Mar menghembuskan nafas terakhirnya. Perjuangannya mendampingi sang suami penyiksa itu selesai sudah. Bagi Mar sudah keputusannya setia pada sang suami di saat mengikat janji suci. Ditampar dan ditendangi pun dia, tetap luluh hatinya memaafkan dan berusaha tetap bertahan membantu mengurangi kekurangan suaminya dengan penuh pengertian dan cara-cara yang diajarkan psikoterapi.

Tetapi tibalah saatnya segala ketabahan, pengertian dan semangat menolong itu tak berguna lagi. Walau perasaan dan mentalnya menerima kelainan kekerasan yang diderita suaminya, raganya tidak memiliki daya tahan sekuat pintu besi. Ada batas kekuatan jasmani dan itu telah terlampaui. Dan akhirnya semua ketabahan dan kepasrahan itu menjadi tersia-sia kini. Raga si istri telah menyerah diam, kaku dan tak ada nafas lagi. Sejenak terdiam, antara pedih dan geram. Andaikan dahulu kusuruh dia pergi dan tidak kembali untuk dipukuli. Mungkin masih tetap ada nafas di tubuh ringkih yang tetap setia menderita mendampingi suaminya sampai mati.

Selengkapnya : Akhirnya Istri yang Teraniaya Itu Menyerah - KOMPASIANA.com

Replying to:

Makasih ya bunda semua. Kalo penyakit itu kan ga ada yg mau bund. Emang siapa sih yg mau dapat penyakit seperti itu. Jd saya sebenar nya masih sayang dan berharap kalo suami bisa sembuh. Bunda2 ga pernah tau rasanya di posisi saya kalau blum ngalamin sendiri. Dan suami bersikap baik sekali dengan anak, tdk pernah yg namanya mukul anak. Dan kl lg ga kumat suami juga sangat sayang banget kadang suami juga curhat bund ke saya bilang ke saya kl dia ga tau knp bisa begitu perbuatannya. Dan suami juga bilang siapa sih yg mau punya penyakit ini.

Mungkin bunda melan anggreani yg lebih memahami ini di banding bunda lain yg ga pernah ngalamin.

Saya juga minta maaf bukan nya saya ga mau di kasih masukkan kalo masukkan nya enak bener bilang pisah.... Coba bunda ada di posisi saya bunda sangat sayang sekali dong pastinya sama suami dan misalnya punya anak juga 2 yg masih kecil2. Saya bertahan juga karna anak, kasian anak masih kecil ga punya bapak. Kl bunda berpikir saya bisa dapat suami lagi, itu juga ga gampang bund bisa di bilang saya uda trauma hubungan dengan laki2 jadinya kl begini

Replying to:

Makasih ya bunda semua. Kalo penyakit itu kan ga ada yg mau bund. Emang siapa sih yg mau dapat penyakit seperti itu. Jd saya sebenar nya masih sayang dan berharap kalo suami bisa sembuh. Bunda2 ga pernah tau rasanya di posisi saya kalau blum ngalamin sendiri. Dan suami bersikap baik sekali dengan anak, tdk pernah yg namanya mukul anak. Dan kl lg ga kumat suami juga sangat sayang banget kadang suami juga curhat bund ke saya bilang ke saya kl dia ga tau knp bisa begitu perbuatannya. Dan suami juga bilang siapa sih yg mau punya penyakit ini.

Mungkin bunda melan anggreani yg lebih memahami ini di banding bunda lain yg ga pernah ngalamin.

Saya juga minta maaf bukan nya saya ga mau di kasih masukkan kalo masukkan nya enak bener bilang pisah.... Coba bunda ada di posisi saya bunda sangat sayang sekali dong pastinya sama suami dan misalnya punya anak juga 2 yg masih kecil2. Saya bertahan juga karna anak, kasian anak masih kecil ga punya bapak. Kl bunda berpikir saya bisa dapat suami lagi, itu juga ga gampang bund bisa di bilang saya uda trauma hubungan dengan laki2 jadinya kl begini

Replying to:

Makasih ya bunda semua. Kalo penyakit itu kan ga ada yg mau bund. Emang siapa sih yg mau dapat penyakit seperti itu. Jd saya sebenar nya masih sayang dan berharap kalo suami bisa sembuh. Bunda2 ga pernah tau rasanya di posisi saya kalau blum ngalamin sendiri. Dan suami bersikap baik sekali dengan anak, tdk pernah yg namanya mukul anak. Dan kl lg ga kumat suami juga sangat sayang banget kadang suami juga curhat bund ke saya bilang ke saya kl dia ga tau knp bisa begitu perbuatannya. Dan suami juga bilang siapa sih yg mau punya penyakit ini.

Mungkin bunda melan anggreani yg lebih memahami ini di banding bunda lain yg ga pernah ngalamin.

Saya juga minta maaf bukan nya saya ga mau di kasih masukkan kalo masukkan nya enak bener bilang pisah.... Coba bunda ada di posisi saya bunda sangat sayang sekali dong pastinya sama suami dan misalnya punya anak juga 2 yg masih kecil2. Saya bertahan juga karna anak, kasian anak masih kecil ga punya bapak. Kl bunda berpikir saya bisa dapat suami lagi, itu juga ga gampang bund bisa di bilang saya uda trauma hubungan dengan laki2 jadinya kl begini

Replying to:

Coba bunda ada di posisi saya bunda sangat sayang sekali dong pastinya sama suami dan misalnya punya anak juga 2 yg masih kecil2