Pengantar Debar
Ada pandangan,'seks itu perkawinan'. Maka bangkitkanlah roh itu dengan melibatkan diri sepenuhnya. Libatkan jiwa serta raga dan bersungguh melakukan demi untuk kebahagiaan rumahtangga.
Sepotong kalimat di atas terkesan sederhana, tapi mendebarkan. Seks diidentikkan dengan perkawinan. Benarkah itu? Ada orang yang berpandangan, perkawinan itu ‘melampaui’ seks. Ia memiliki nilai-nilai adiluhung yang tak sekedar urusan ‘jorok’ berwujud seks. Disini, seks ditatapi sebagai hal yang tak senonoh, comberan atau apapun stigma-nya.
Ya, seks menjadi sesuatu yang berkonotasi ‘miring’ bila dilakukan tidak semestinya. Muncul istilah ‘seks bebas’ atau banyak istilah lainnya yang menghambur dibenak masyarakat. Maka dalam cakupan ini, seks tak lagi punya makna sakral, melangit dan mengharubiru eksistensi manusia. Sementara, perkawinan dipatrapi sebagai sesuatu yang ‘mengkilap’, bening, terpuji dan selaras fitrah manusia. Manusia hidup ditakdirkan berpasang-pasangan demi tujuan mulia memakmurkan bumi ini. Ini sabda yang menjadi hal yang sulit dielakkan.
Padahal, bila menilik ‘tumbuh kembang’ manusia, sesungguhnya sejak manusia dilahirkan hingga menjadi manusia dewasa, manusia memiliki dorongan yang dinamakan libido. Nafsu syahwat ini telah ada sejak manusia lahir dan dia mulai menghayati sewaktu dia menemukan kedua bibirnya dengan puting buah dada ibunya, untuk menyusui karena lapar. Ia menikmati rasa senang yang bukan rasa kenyang. Dan inilah rasa seks pertama yang dialami manusia. Begitulah, libido merupakan dorongan seksual yang sudah ada pada manusia sejak lahir.
Lalu mengapa harus serius-serius banget bicara seks? Lagian, seks dikaitkan dengan perkawinan yang memang sudah melekat didalamnya. Seberapa vitalnya seks dalam perkawinan? Tentu ini bukan sembarang bicara. Bukan semata teoritis, namun ada pendaratan empiris. Ada faktanya, bahwa perkawinan dalam dinamikanya kerap berombak akibat gelombang pasang yang menyertainya. Ya, biduk rumah tangga bisa oleng akibat satu hal yang bernama seks. Beberapa orang mungkin tidak setuju, jika seks dikatakan penting dalam suatu hubungan. Namun pada kenyataannya, hubungan seks yang sehat justru dapat menguatkan ikatan cinta antara pasangan.
Kehidupan seksual dalam pernikahan bukan semata-mata sebagai media pemuas kebutuhan biologis saja. Seks juga memiliki peranan penting dalam pernikahan. Seks adalah suatu bentuk pengungkapan rasa cinta yang paling dalam. Seks merupakan tindakan saat kita dan pasangan memiliki ikatan dan perasaan yang kuat. Dengan seks, kita dan pasangan memiliki kesempatan untuk merasa saling memiliki dan mencintai.
Saat ini, kerap saya berjumpa dengan orang-orang yang mengalami ‘pasang-surut’ dalam rumah tangga. Banyak diantara mereka yang tidak harmonis, hilangnya kemesraan, atau minimnya tegur sapa yang romantis. Celakanya, diiringi ‘gempa susulan’, masing-masing, si suami dan istri mencari pelampiasan. Bukan semata karena ‘kelebihan hormon’ seksual, mereka normal-normal saja secara libido. Cerita punya cerita, karena urusan kepuasan seks terabaikan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Ya, urusan seks menjadi biang keladinya. Ada terpendamnya ‘ketidakpuasan’ yang bisa menjelma bagai ‘api dalam sekam’.
Yah, banyak cerita yang terwedarkan disaat saya bertemu dengan banyak rekan-rekan sekantor maupun di luar kantor. Mereka bertabik asa untuk membagi cerita tentang perkawinan dan juga seks. Ada canda tawa, tapi juga kegelisahan bahkan keperihan serta sedu sedan lainnya. Dari banyak rekan yang bersua dengan saya, kebanyakan mereka mengalami persoalan seksual. Disini maksudnya bukan ‘gangguan seksual’ yang berkonotasi pada penyakit. Akan tetapi, lebih banyak karena fakta menurunnya ‘kinerja seksual’ dalam rumah tangga mereka. Rutinitas kerja, lamanya pernikahan dan akhirnya muncul kebosanan sehingga kurang atau bahkan hilangnya hasrat seksual. Tak pelak, ini membuat saya makin percaya bahwa urusan seks ternyata banyak menimbulkan hal-hal yang sering tak terbayangkan dan terancang.
Perubahan nilai yang begitu cepat dalam kehidupan kita saat ini karena kemajuan teknologi informasi dan media mengakibatkan kita bingung dalam menyikapi nilai-nilai perkawinan kontemporer. Refleksi ini menjadi penting ketika saat ini kita melihat di sekitar kita terjadi peningkatan perceraian, perselingkuhan dan maraknya praktek-praktek seks di luar perkawinan.
Karena itulah, perlu ‘panduan’ agar suami-istri dapat langgeng dalam menjalani biduk rumah tangganya. Porosnya ada pada cara ‘mengelola seks’ dengan baik melalui pemahaman yang jitu terhadap ‘tehnik bersebadan’. Dengan begitu, dijamin, suami tidak mangkir, dan istri ketagihan. Akhirnya, rumah tangga jadi bagai di nirwana.
Demikianlah, buku ini lahir sebagai upaya untuk mengisi ruang-ruang yang terlihat terlewatkan dalam perbincangan maupun pelaksanaan aktivitas seks di ranah pernikahan. Mereka yang bertahun-tahun menikah, ada yang belum merasakan ‘kenikmatan seks’ sesungguhnya. Seks hanya dirasakan sebagai ‘tugas’ bagi pasutri demi melewati banalitas di bahtera rumah tangga. Banyaknya timbunan permasalahan seks pasutri ini salah satu yang utama adalah akibat egoisme suami. Ya, istri hanya menjadi ‘alas’ bagi penumpahan hasrat seks suami. Istri tak pernah merasakan orgasme, lantaran suami sama sekali tidak pengertian, karena sudah merasa cukup setelah ejakulasi.
Persoalan ini sebenarnya ‘menyejarah’. Maksudnya, sedari lama dalam peradaban manusia terpampang fakta betapa kaum perempuan hanya menjadi ‘gula-gula’ laki-laki. Kaum perempuan seakan dihukum untuk tidak layak merasakan orgasme. Tentu ini sebuah ketidakadilan dalam wujud eksploitasi yang berada di wilayah seksual. Disinilah, panduan ini hendak ‘mendobrak’ cara pandang dan perilaku yang berkecenderungan ‘despotis seksual’ tersebut. Saatnya kaum perempuan dianugerahi kepuasan klimaks. Dan ini merupakan tugas laki-laki. Maka perlulah digaungkan tentang ‘seks yang setara’.
Nah, di buku ini saya berkeinginan untuk menawarkan sebuah ‘resep’ yang mungkin bermanfaat bagi banyak orang. Resep ini terbangun dari pengalaman saya bertahun-tahun dalam menapaki kehidupan rumah tangga. Wujud resepnya bukan seperti ‘sinshe’, ‘tabib’ atau paranormal yang biasa memberikan pengobatan untuk mengatasi gangguan seksual. Saya bukan ahli semua itu. Saya hanya orang biasa yang kebetulan memiliki pengalaman dalam meningkatkan kemampuan untuk meraih kepuasan seksual dalam hubungan suami-istri.
Saya bersyukur, telah cukup banyak teman-teman yang mempraktikkan resep saya itu dan kemudian merasakan manfaatnya. Mereka merasa kembali ‘hidup’, setelah sekian lama kehidupan seksualnya ‘luntur’. Sehingga hubungan rumah tangganya makin harmonis. Dan itu dilakukan setelah para suami tercerahkan dengan mengerahkan jurus dan tehnik jitu demi memberi kepuasan pada istrinya.
Nah, melalui buku ini, saya ingin berbagi pengalaman. Tentu, tak ada gading yang tak retak. Buku ini hadir bukan untuk kesempurnaan, tetapi sebagai bagian dari asa mulia merajut perkawinan yang bahagia dan setara untuk keluarga Indonesia. Terakhir, saya ingin teguhkan dengan mengutip semboyan Robert Browning “Grow old with me! The best is yet to be”, hiduplah hingga tua bersamaku. Yang terbaik akan datang. Ini merupakan harapan dan keyakinan setiap pasangan menikah. Sekali menikah dan untuk selamanya. Zsa-Zsa Gabor, mantan aktris Hollywood, juga pernah menyatakan bahwa perkawinan adalah sebuah akhir yang membuat cinta dua sejoli menjadi lengkap. Walaupun perkawinan mungkin tidak selalu berjalan mulus. Ilalang yang tumbuh pasti ada. Selamat membaca...