Terkadang keinginan kita memberikan yang terbaik utk si buah hati direspon pasar untuk meraup untung atas hal tersebut. Rasa takut dan kecemasan ibu hamil sangat dikomodifikasi oleh pemilik pasar. Begitu banyak informasi yang kita dapat sehingga kita menjadi bingung dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan tidak. Ini berbicara mengenai pengalaman saya menjadi ibu hamil utk yang pertama kali nya. Ini sekedar refleksi pribadi saya (respon saya) atas pasar yang diciptakan kapitalisme modern.
1. Ke hebohan saya utk segera mengetahui apakah saya hamil positif atau tidak membuat saya termakan iklan test pack. Di iklan mengatakan cek bisa dilakukan Seminggu setelah konsepsi. Maka akan tampak apakah garis yang muncul satu atau dua. Di iklan dikatakan bahwa jika positif maka garis yang muncul dua dengan warna yg diilustrasikan selama ini merah. Padahal garis dua dengan warna merah menandakan usia kehamilan 3-4 minggu. Bayangkan berapa jumlah ibu hamil di Indonesia yang seperti saya. Saking penasaran sampai membeli TP 4buah hny utk meyakinkan hamil atau tidaknya. Berapa harga TP per buahnya, dan lain sebagainya.
2. Soal pilihan menggunakan jasa bidan atau dokter atau dukun bayi sekali pun. Terkadang untuk menambah penghasilan bidan atau dokter mereka sering bekerja sama utk memasarkan jenis produk tertentu entah susu atau obat atau vitamin, dsb kpd pasien mereka. Well, pernahkah mereka menawarkan obat generik dgn kualitas yg sama dan harga yang lebih merakyat?
Media sering kali memblow up informasi yang sering kali memarginalkan pihak dan profesi tertentu. Dukun bayi dianggap tradisional, tidak steril dan ber sertifikat. Akibatnya kini mereka banyak ditinggalkan. Meski pun mereka menggeluti profesinya sudah puluhan tahun. Mereka memang tidak bersertifikat dan tidak menjual products tertentu, dan tidak mampu menggunakan peralatan modern
Tapi mereka memiliki sense thdp bayi dalam kandungan karena keahlian mereka yang telah digeluti lama.
Sedangkan kecenderungan ibu hamil sekarang adalah melakukan sesar utk meminimalisir resiko. Sayangnya belum ada penelitian yang menjelaskan apa dampak psikologis antara kedekatan ibu dan anak di kemudian hari. Dan bandingkan dengan kedekatan ibu anak dgn persaLinan normal.
3. Soal usg.. terkadang penjelasan antara dokter satu yang lainnya akan berbeda ketika menjelaskan soal dampak usg pada bayi. Tapi coba tanyakan pada si pembuat usg atau mereka yang menggeluti teknik per usg-an. Misal teknik fisika, dll. Apakah sudah ada penelitian ttg efek usg pada janin. Insya Allah mereka akan memberikan jawaban yang obyektif dan berimbang. Mungkin juga hasil penelitian mereka tidak di blow up ke public krn alasan tertentu.
4. Soal susu formula. Mengutip dari para vegan atau vegrtarian, mereka mengatakan bahwa susu sapi hanya utk anak sapi. Dan susu manusia hanya utk manusia. Pernahkah kita melacak juga ttg asal usul pabrik susu yang ada di negara kita? Mengapa mereka datang ke negara kita? Apakah sekedar alasan perluasan pasar atau memang products mereka tidak laku di negara asal mereka? Juga tidak sayang saya belum menemukan apa dampak susu formula di kemudian hari pada anak. Namun jika saya perhatikan suami saya dan teman teman saya yang tidak minum asi dan justru minum susu formula, mereka tampak lebih tua dari usia mereka sebenarnya.
Sayangnya kita sering berpacu dengan waktu dan iklan. Minimnya waktu yang kita miliki utk membaca dan melacak suatu informasi berbanding terbalik dengan iklan yang menjejali keseharian kita.
Menjadi bijak dengan mengasah pikiran positif saya pikir adalah kunci keberhasilan ibu bagi keluarga dan tentunya si buah hati.