Forum Ibu Hamil dan Kehamilan Daftar di IbuHamil.com untuk ikutan diskusi seputar kehamilan

  Forum Ibu Hamil dan Kehamilan > Misc Stuff > Ngobrol Apa Saja

Selamat datang di IbuHamil.com, sebuah forum seputar kehamilan. Untuk bertanya atau diskusi dengan bumil lain, silakan bergabung dengan komunitas kami.
  #1  
Old
VinnyC...   TS 
 
Location: DistributorHerbalMakassar.com
Posts: 52
Default Alasan Kenapa Dokter Di Negara Maju “pelit” Kasih Obat ke Anak yg Sakit

Kemarin nemu artikel yang bagus banget. At least bisa menjawab pertanyaan yang seringkali muncul kenapa anak-anak kita gampang banget sakit. Semoga bermanfaat

Sebagian Alasan Kenapa Dokter Di Negara Maju “pelit” Kasih Obat ke Anak yg Sakit

** Dimana Salahnya?**

Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku ...tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan.

Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.
“Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection.” kata dokter tua itu.“Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?” batinku meradang.
Ya...ya...aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.“Obat penurun panas Dok?” tanyaku lagi.“Actually that is not necessary if the fever below 40 C.”Waks! Nggak perlu dikasih obat panas?

Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter di Belanda pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.

Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter.

Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see.

Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.“Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok,” kataku.Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. “Apakah dia sudah minum suatu obat?” Aku mengangguk. “Ibuprofen syrup Dok,” jawabku.Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,

”Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja.”

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku. ”Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!” Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.“Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C`! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!”Suamiku menimpali, “Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?”Aku menarik napas panjang. “Hmm...tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi...alasannya apa ya?” Mendadak aku kebingungan.

Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya.

Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii...kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart.

Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.“Just drink a lot,” katanya ringan.Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal. “Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?” tanyaku tak puas.“This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik,” jawabnya lagi.

Ggrh...gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.“Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan,” kataku ngeyel.

Dengan santai si dokter pun menjawab,”Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq.”Hmm...lumayan lah... kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.“Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini.

” Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anak-anakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku. Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit.

Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.“Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,”Nothing to worry. Just a viral infection.”Aduuuh Doook... apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal. “Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,” aku ngeyel seperti biasa. Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. “Do you know how many times normally children get sick every year?”Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. “enam kali,” jawabku asal. “Twelve time in a year, researcher said,” katanya sambil tersenyum lebar. “Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat,” sambungnya.

Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm...apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah...barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet.

Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini:

“Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun.” Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.“Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya,” Lanjut artikel itu. “Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.Lingkaran setan ini : sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun.”

Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh...duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda ‘dipaksa’ tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata ‘pengobatan rasional’. Lho...bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm... kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anak-anak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. “Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe,” kataku pada suamiku.Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif ‘terlindungi’ dari paparan obat-obatan yang tak perlu.

Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‘memaksa’ agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter ‘menjual’ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi? Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu.

Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh! Tapi yang pasti kini aku sadar...telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‘hanya’ untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja. Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien.

Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas 'beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional. Lalu dimana ujung pangkal salahnya?
Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien ‘bergerak’, masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

Solusi lain selain obat kimiawi, klik link di bawah :


"Minimalkan pemakaian obat kimiawi.Jadikan hidup lebih berarti dengan herbal."

(Dikutip dari buku “Smart Patient” karya dr. Agnes Tri Harjaningrum)
 
Thread lain yang berhubungan:
Jauhkan diri anda dan keluarga anda dari efek obat kimia, kembalilah ke obat herbal alami yang aman dan menyehatkan ~ DistributortHerbalMakassar.com
  #2  
Old
fajrit...
 
Posts: 245
 
nice info ndaa. . up up up
 
indahnya berbisnis sambil berbagi, klik www.income-syariah.com/?id=fajrita
  #3  
Old
maminy...
 
Posts: 1,117
 
saya juga pernah baca ini heheheee

Up up up
 
  #4  
Old
ika az...
 
Posts: 3,022
 
Nice info bun.. Ank ku trmsk yg ssh mnm obt.. Tapi ayh nya slalu rewel utk ksh obt saat ank kami demam ato btuk pilek..
Mulai skrg sya biarin aja deh wlu lg skt ank sya kdg msh terliat aktif.. Tp sya paksa2 mnm krna ayh nya slalu ngingetin ksh obt meskipun lg ditmpt krj.. Pdhl sya sndri pun kurang tega maksa ank mnm obt..
Krna sya pun menganngap,batuk pilek,demam,mencret adlh hal normal pd ank.. Yg pntg ank sya msh terliat aktif n gk rewel..
 
  #5  
Old
bunda ...
 
Location: Solo, Jawa Tengah
Posts: 1,301
 
Bantu sundul...
Up....up..
 
  #6  
Old
arii t...
 
Posts: 1
 
dokter arya, juga gitu, si kecil rengeng2 panas abis imunisasi juga nggak dikasih obat penurun panas, sampai aku telp di tempat prakteknya, jawabannya cuman 'ibu silakan beli sanmol obat panas, tapi kalo panasnya ngga sampai 38,5 jangan dikasih, itu memang proses imunisasinya bekerja"

Pernah juga anak saya pilek ngga bisa napas ngga dikasih obat....cuman obat luar untuk dioles didada.....kata dokter arya.....obat anak flu cuman 1 yaitu SABAR...
he..he... tapi puji Tuhan anak saya cepat sembuh tampa minum obat,
salut juga dengan dokter ini,
jangankan obat, minta vitamin aja ngga dikasih, kata beliaunya
"ibunya yang makan bergizi jadi anaknya daya tahan tubuhnya bagus"
he..he....jadi merasa aman, anak ku minim bahan kimia dalam tubuhnya
 
  #7  
Old
Arsyie...
 
Location: medan
Posts: 249
 
Waah..nice info bund..sundul deh
Itu utk anak kn bun?bhkan pnggunaan vitamin pun tidak di anjurkan utk anak..bgaimna ya klo utk org dewasa?apakah pnanganan pelit obat juga berlaku y?bgaimn dgn vitamin bgi wanita hamil?krn skrg sy jg sdang batuk..ga berani minum obat yg sekalipun d perbolehkn d konsumsi wanita hamil..krn takut brpengaruh ke janin..satu2nya yg berani sy konsumsi adalah ya cuma vitamin utk bumil dr dokter..jd skrg sy tahankan sja batuk yg sidah 3hri mendera ini
Maf bunda,kok sya jd malah balik nanya..adakah bundsay disini yg bs menjawabnya??
 
  #8  
Old
andlly...
 
Posts: 1,552
 
Mantap bun.. up up up....
 
  #9  
Old
VinnyC...   TS 
 
Location: DistributorHerbalMakassar.com
Posts: 52
 
Iya...hanya bunda cerdas yang tidak selalu mengandalkan obat kimiawi untuk kesembuhan anaknya.

---------- Post added at 14:04 ---------- Previous post was at 14:00 ----------

Sekilas info saja bunda, selama masa kehamilan tetap sangat dibutuhkan suplemen vitamin yang dibutuhkan untuk perkembangan janin. Disamping itu, pola hidup sehat dan tidak stress akan sangat membantu tumbuh kembang janin sampai di saat kelahirannya.
Untuk keluhan batuk yang anda derita ada baiknya kembali ke produk herbal.
Kami sangat menganjurkan di saat kehamilan agar bunda tidak sakit-sakitan, dan tidak mengkonsumsi obat kimiawi.
Maaf, bukan promosi tapi sudah banyak yang memberikan testimoni akan hasil minyak kutus-kutus yang sangat aman bagi debay, bumil sampai manula.
Produk TIDAK DIMINUM, hanya dibalurkan saja.
 
Jauhkan diri anda dan keluarga anda dari efek obat kimia, kembalilah ke obat herbal alami yang aman dan menyehatkan ~ DistributortHerbalMakassar.com
  #10  
Old
maminy...
 
Posts: 1,117
 
Replying to: View Post
Waah..nice info bund..sundul deh
Itu utk anak kn bun?bhkan pnggunaan vitamin pun tidak di anjurkan utk anak..bgaimna ya klo utk org dewasa?apakah pnanganan pelit obat juga berlaku y?bgaimn dgn vitamin bgi wanita hamil?krn skrg sy jg sdang batuk..ga berani minum obat yg sekalipun d perbolehkn d konsumsi wanita hamil..krn takut brpengaruh ke janin..satu2nya yg berani sy konsumsi adalah ya cuma vitamin utk bumil dr dokter..jd skrg sy tahankan sja batuk yg sidah 3hri mendera ini
Maf bunda,kok sya jd malah balik nanya..adakah bundsay disini yg bs menjawabnya??
Bunda ,saya lg hamil 39w,pas 38w kmrn juga sempet flu dan akhirnya ikutan batuknya..saya minum jeruknipis+kecap..cuma 2x minum alhamdulillah sembuh..mungkin bunda bisa coba siapa tau cocok juga..kalo dari bidan saya dikasih obh herbal tp gk saya minum soalnya uda keburu sembuh ama kecap+jeruknipis..
 
  #11  
Old
Maya A...
 
Location: touyuen.taiwan
Posts: 4,628
 
saya bacanya pusing bund panjang lebar tpi ga da ruginya saya baca karena memiliki makna yang sangat berarti..
terima kasih bunda ..
 
  #12  
Old
agnisa...
 
Location: Bekasi
Posts: 946
 
aku udh pernah baca, kan bunda yg senior penah bikin thread ini bund . maaf yaa.. tapiii bermanfaat bgt,,
aku bantu UP UP UP UP UP UP
 
  #13  
Old
Kikin ...
 
Location: di mana-mana lah
Posts: 317
 
Replying to: View Post
Kemarin nemu artikel yang bagus banget. At least bisa menjawab pertanyaan yang seringkali muncul kenapa anak-anak kita gampang banget sakit. Semoga bermanfaat

Sebagian Alasan Kenapa Dokter Di Negara Maju “pelit” Kasih Obat ke Anak yg Sakit

** Dimana Salahnya?**

Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku ...tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan.

Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.
“Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection.” kata dokter tua itu.“Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?” batinku meradang.
Ya...ya...aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.“Obat penurun panas Dok?” tanyaku lagi.“Actually that is not necessary if the fever below 40 C.”Waks! Nggak perlu dikasih obat panas?

Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter di Belanda pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.

Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter.

Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see.

Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.“Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok,” kataku.Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. “Apakah dia sudah minum suatu obat?” Aku mengangguk. “Ibuprofen syrup Dok,” jawabku.Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,

”Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja.”

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku. ”Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!” Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.“Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C`! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!”Suamiku menimpali, “Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?”Aku menarik napas panjang. “Hmm...tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi...alasannya apa ya?” Mendadak aku kebingungan.

Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya.

Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii...kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart.

Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.“Just drink a lot,” katanya ringan.Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal. “Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?” tanyaku tak puas.“This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik,” jawabnya lagi.

Ggrh...gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.“Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan,” kataku ngeyel.

Dengan santai si dokter pun menjawab,”Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq.”Hmm...lumayan lah... kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.“Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini.

” Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anak-anakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku. Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit.

Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.“Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,”Nothing to worry. Just a viral infection.”Aduuuh Doook... apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal. “Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,” aku ngeyel seperti biasa. Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. “Do you know how many times normally children get sick every year?”Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. “enam kali,” jawabku asal. “Twelve time in a year, researcher said,” katanya sambil tersenyum lebar. “Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat,” sambungnya.

Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm...apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah...barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet.

Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini:

“Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun.” Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.“Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya,” Lanjut artikel itu. “Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.Lingkaran setan ini : sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun.”

Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh...duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda ‘dipaksa’ tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata ‘pengobatan rasional’. Lho...bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm... kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anak-anak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. “Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe,” kataku pada suamiku.Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif ‘terlindungi’ dari paparan obat-obatan yang tak perlu.

Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‘memaksa’ agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter ‘menjual’ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi? Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu.

Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh! Tapi yang pasti kini aku sadar...telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‘hanya’ untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja. Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien.

Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas 'beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional. Lalu dimana ujung pangkal salahnya?
Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien ‘bergerak’, masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

Solusi lain selain obat kimiawi, klik link di bawah :


"Minimalkan pemakaian obat kimiawi.Jadikan hidup lebih berarti dengan herbal."

(Dikutip dari buku “Smart Patient” karya dr. Agnes Tri Harjaningrum)
Nicee info bund ..
 
Anindita Keisha Zahra

Aninditi Elmira Shanum
  #14  
Old
VinnyC...   TS 
 
Location: DistributorHerbalMakassar.com
Posts: 52
 
Makasih mom semua sundulnya. Semoga bisa share lebih banyak lagi.
 
Jauhkan diri anda dan keluarga anda dari efek obat kimia, kembalilah ke obat herbal alami yang aman dan menyehatkan ~ DistributortHerbalMakassar.com
  #15  
Old
VinnyC...   TS 
 
Location: DistributorHerbalMakassar.com
Posts: 52
 
berikut info mengenai fungsi lain dari TEPUNG.....

SEMOGA BISA BERGUNA....

KEAJAIBAN TEPUNG TERIGU
Cerita ini mungkin bisa bermanfaat: copass dr teman.
Just reminded Pada suatu hari saya memasak jagung dan menusukkan garpu ke jagung yang sedang direbus air mendidih itu, untuk melihat apakah sudah matang. Tetapi garpu itu meleset dan malah tangan saya yang masuk ke air mendidih itu .......Teman saya, seorang veteran tentara Vietnam, masuk kedalam rumah ketika saya sedang menjerit kesakitan. Dia bertanya, apakah saya punya tepung terigu. Saya ambil sekantung terigu dan teman saya langsung memasukkan tangan saya yang kena air panas itu ke kantung terigu itu.... Dia minta saya membiarkan tangan itu terendam tepung terigu selama 10 menit. Dia bercerita bahwa di Vietnam ada orang yang terbakar. Orang2 lain panik dan tanpa sengaja melemparkan sekarung terigu ke tubuh orang itu untuk memadamkan api ditubuhnya..... Ternyata bukan saja apinya padam, tapi tubuh orang itu sama sekali tidak melepuh kena api.Maka saya pun merendam tangan saya selama 10 menit di kantung terigu itu. Ketika saya tarik keluar tangan itu, kulitnya sama sekali tidak ada yang merah atau melepuh, dan TIDAK SAKIT.Sekarang saya selalu menyediakan sekantung tepung terigu di lemari es dan tiap kali tangan saya terkena panas, saya masukkan ke kantung terigu itu. Kulit saya tidak pernah satu kalipun menjadi merah, hitam ataupun melepuh.*) Tepung dingin lebih enak/nyaman rasanya daripada tepung hangat (suhu kamar). Simpanlah selalu sekantung tepung terigu di lemari es. Suatu saat anda akan bersyukur bahwa ada terigu di sana. Ketika lidah saya terbakar minuman panas, saya bubuhi tepung terigu dan dibiarkan selama 10 menit. Ternyata sakitnya hilang dan tidak ada bekas terbakar. Cobalah.Janganlah siram bagian tubuh yang terbakar dengan Air Dingin dulu. Tapi Langsung masukkan dan rendam di kantung tepung terigu selama 10 menit. Jangan lupa berbagi ...semoga bermanfaat ({})
 
Jauhkan diri anda dan keluarga anda dari efek obat kimia, kembalilah ke obat herbal alami yang aman dan menyehatkan ~ DistributortHerbalMakassar.com
Silakan daftar untuk menulis pesan :-)


Topik yang mirip
Thread Thread Starter Forum Replies Post Terakhir
Alasan Dokter Negara Maju "Pelit" Memberikan Obat ke Anak -- Ngobrol Apa Saja 46
Sama dokter di kasih Obat Blesifen... -- Diskusi Umum 19
Dokter, kenapa saya nggak langsung di kasih Promil????? -- Ngobrol Apa Saja 8
Ga haid 1bln,dokter kasih obat pelancar haid -- Ngobrol Apa Saja 9
Lagi Sakit d kasih obat dokter bolehkah minum obat utk Promil juga..? -- Diskusi Umum 0


Zona waktu GMT +7. Waktu saat ini adalah 11:09.


IbuHamil.com - Forum Informasi Kehamilan
Forum diskusi kehamilan dan komunitas ibu hamil terbesar di Indonesia
© 2024 IbuHamil.com